Allah subhanahuwataala telah menetapkan batas kemampuan akal manusia dalam mengetahui sesuatu, sehingga akal akan berhenti pada batasan tersebut dan tidak dapat melampauinya. Allah tidak memberikan kemampuan kepada akal untuk mengetahui setiap hal yang dicari.
Ilmu Allah itu tiada berbatas, sedangkan ilmu hamba terbatas. Para pemikir ulama/ilmuan sendiri menegaskan bahwa perkara yang bersifat teori tidak mungkin disepakati semua pihak. Hal itu disebabkan perbedaan sudut pandang dan cara berfikir.
Pengatahuan akal itu tidak komprehensif dan tidak menyeluruh. Atas dasar ini, tidak ada seorang pun yang boleh menjamin akal itu tidak keluar dari hukum syariat, hingga akal dianggap menyamai dengan wahyu.
Bukti kekurangan dan keterbasan akal jelas, sedangkan syariat tidaklah demikian. Sebab syariat ini berasal dari sisi Allah, Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui, Yang pengetahuannya meliputi segala sesuatu dan segala sesuatu telah ditetapkan ukurannya disisi-Nya.
Dari itu setiap perkara yang harus dikedepankan ialah syariat dan mengahirkan setiap perkara yang harus diakhirkan dengan akal. Sebab tidak boleh mengedepankan sesuatu yang kurang dan mengahirkan sesuatu yang sempurna.
Selalunya orang yang mendahulukan akalnya akan menggunakan logik dan analogi untuk menghalalkan pendapat mereka yang bertolak belakang syariat.
Imam Ahmad berkata; " Hampir tidak pernah anda jumpa seseorang yang mempelajari logika (lebih mengedepankannya daripada nas), melainkan didalam hatinya terdapat daghal. (penyimpangan)". Lisaanul Arab (XI/244-245)
Beliau menolak cara Ahlul Bid'ah yang menafsirkan al-Qur'an dengan logika dan takwil mereka, tanpa merujuk kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan perkataan para Sahabat, serta Tabi'in yakni orang orang yang telah diajarkan tafsir al-Qur'an bahkan telah menyampaikan semua keterangan yang mereka terima dari Nabi shallallahu alaihiwassalam.
Dari itu dalam beragama tidak boleh menurut pendapat tanpa mendukung syariat terlebih dahulu. Tidak boleh mengetepikan nas nas walaupun bertentangan dengan pendapat dan akal manusia.
Mereka yang kedepankan akal sering berkata Allah lebih mengetahui, kita tidak boleh menghukum, biar lah Dia mengadili di akhirat kelak mana yang haram dan halal, di perbolehkan atau tidak, sunnah atau bid'ah dan seterusnya.
Jika semua perkara yang bersangkutan agama pengadilan hanya dapat diketahui di akhirat saja, buat apa Allah subhanawataala turunkan al-Qur'an dan hadits hadits shahihnya......
Wallahu a'alam
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang paling banyak meriwayatkan hadits antara lain :
Abu Hurairah 5374 hadits
Ibnu Umar 2630 hadits
Anas bin Malik 2286 hadits
Aisyah Ummul Mukminin 2210 hadits
Ibnu ‘Abbas 1660 hadits
Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang melakukan pembukuan hadits antara lain :
1. Abdullah bin Amr bin Al-Ash (7-65H) : As-Shahifah As-Shadiqah
2. Abdullah bin Abbas (3-68H)
3. Jabir bin Abdillah Al-Anshari (16-78H) : As-Shahifah.
4. Hamam bin Munabbih (40-131H) : As-Shahifah As-Shahihah
Perintah Umar bin Abdul Aziz untuk memulai pembukuan dan pelembagaan hadist secara resmi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz inilah yang memelopori pembukuan dan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. secara resmi. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Perintah Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut “
Perhatikanlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tulislah dia, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dan wafatnya para ‘ulama , dan janganlah diterima kecuali hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” ( Bukhari (1/33) dan Ad-Daarimi (1/126))
Dan Ibnu Hazm selanjutnya menunjuk ulama besar yaitu Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk melakukan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdua merupakan thabaqat awal pembukuan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hazm pulalah yang memulai dan mencetuskan ilmu Riwayatul hadits. Yakni suatu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Ilmu ini sifatnya lebih tertuju pada mengumpulkan hadits-hadits saja, tanpa memeriksa secara detail sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Faedah-faedah Ilmu riwayatul hadits antara lain :
1. Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
2. Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut ke mulut atau dari satu tulisan ke tulisan lain tanpa sanad.
3. Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Agar dapat diperiksa sanad dan matannya sah atau tidak.
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’in antara lain :
1. Said Ibnul Musayyab (15-94H)
2. Urwah bin Zubair (22-94H)
3. Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Wafat th.117H)
4. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (50-124H)
5. Imam Nafi’ (wafat 117H)
6. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah (Wafat 98H)
7. Salim bin Abdullah bin Umar (Wafat 106H)
8. Ibrahim bin Yazid An-Nakha’I (46-96H)
9. Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi (19-103H)
10. Alqamah bin Qais An-Nakha’i (28-62H)
11. Muhammad bin Sirrin (33-110H)
12. Ibnu Juraij Abdul Aziz bin Juraij (Wafat 150H)
13. Said bin ‘Arubah (Wafat 156H)
14. Al Auza’i (Wafat 156H)
15. Sufyan At-Tsauri (Wafat 161H)
16. Abdullah bin Mubaarak (118-181H)
17. Hammad bin Salamah (Wafat 176H)
18. Husyaim (Wafat 188H)
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’ut Tabi’in antara lain :
1. Bukhari (194-256H) Kitab : Al-Jaami’ush Shahih atau Shahih Bukhari
2. Muslim (204-261H) Kitab : Shahih Muslim
3. Abu Dawud (202-275H) Kitab : As-Sunan Abi Dawud
4. At-Tirmidzi (209-279H) Kitab : As-Sunan At-Tirmidzi
5. An-Nasa’i (215-303H) Kitab : As-Sunan An-Nasa’i
6. Ibnu Majah (207-275H) Kitab : As-Sunan Ibnu Majah
7. Malik bin Anas (90/93-169H) Kitab : Al-Muwatha’
8. Asy Syafi’iy (150-204H) Kitab : Al Um
9. Ahmad bin Hambal (164-241H) Kitab : Al Musnad Ahmad
10. Ibnu Khuzaimah (223-311H) Kitab : Shahih Ibnu Khuzaimah
11. Ibnu Hibban (—-354H) Kitab : Shahih Ibnu Hibban
12. Hakim (320-405H) Kitab : Al Mustadrak
13. Ad-Daaruquthni (306-385H) Kitab : Sunan Daaruquthni
14. Al Baihaqiy (384-458H) Kitab : Sunan Al-Kubra
15. Ad Daarimi (181-255H) Kitabnya Sunan Ad-Daarimi
16. Abu Dawud At-Thayaalisi (—-204H) Kitab : Musnad At-Thayalisi
17. Al Humaidiy (—219H) Kitab : Musnad Al-Humaidiy
18. Ath Thabrani (260-360H) Kitab : Mu’jam Al-Kabir, Mu’jam Al-Ausath, Mu’jam As-Shagir
19. Abdurrazzaaq (126-211H) Kitab :Mushannaf Abdurrazzaaq
20. Ibnu Abi Syaibah (—-235H) Kitab : Mushannaf Ibnu abi Syaibah
21. Abdullah bin Ahmad (203-209H) Kitab : Az-Zawaaidul Musnad
22. Ibnul Jaarud (—307H) Kitab : Al-Muntaqa
23. At-Thahaawi (239-321H) Kitab : Syarah Ma’aanil Atsar, Musykilul Atsar
24. Abu Ya’la (—307H) Kitab : Musnad Abu Ya’la
25. Abu ‘awaanah (—316H) Kitab : Shahih Abu ‘Awaanah
26. Said bin Manshur (—227H) Kitab : As Sunan Said bin Manshur
27. Ibnu Sunniy (—364H) Kitab : ‘Amalul Yaum wal lailah
28. Ibnu Abi ‘Ashim (—287H) Kitab : Kitabus Sunnah, Kitab Zuhud
Sumber:Ahlulhadist.wordpress.com