SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

September 30, 2012

Syarat Amal di Terima

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Kita telah mengetahui, bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya. Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas pahala amal ibadah, sesuai dengan tingkatannya. Namun, kita perlu menyadari, bahwa amal ibadah kita, tidak semua akan diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Jika amal seseorang telah memenuhi persayaratan itu, berarti amalnya akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika kurang, maka akan ditolak. Sebagai seorang muslim yang menghendaki agar amal ibadahnya diterima dan mendapatkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui dan selanjutnya memenuhi persyaratan itu. Sebab, apalah artinya amal banyak, namun tidak mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Bahkan justru sebaliknya, menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sia-sialah kita dalam beramal, kalau pada akhirnya akan ditolak dan dikembalikan kepada kita.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Dalam Alquran Surat Al-Furqan, Allah telah berfirman,
وَقَدِمْنَآ إِلَى مَاعَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَّنثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui surat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwasanya amalan-amalan orang kafir dan musyrik tidak menghasilkan apa-apa, berapa pun banyaknya. Karena amalan-amalan mereka itu tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Belum cukupkah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mendorong kita untuk mempelajari syarat diterimanya amal?
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amal ibadah akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ikhlas. Artinya, beribadah hanya kepada-Nya saja dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan, kecuali amalan yang diikhlaskan untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Sesunguhnya amal itu tergantung niatnya.”
Dalam hadis lain,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Masalah keikhlasan ini berkaitan dengan hati. Dan masalah hati tidak bisa dipisahkan dengan niat. Perkara ini terkadang banyak diremehkan oleh manusia, sehingga merasa tidak perlu lagi mengoreksi hati. Tidakkah kita mengetahui, bahwa masalah ini dianggap besar oleh para ulama salaf? Tengoklah yang dikatakan oleh Sufyan Tsauri, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena dia berbolak-balik.”
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Itulah pandangan ulama salaf dalam masalah hati. Masalah hati sangat mereka perhatikan ketika beramal. Sehingga dalam sejarah perjalanan hidup mereka, kita mendapati berbagai macam usaha yang mereka lakukan untuk menjaganya, dan menutup pintu masuk setan yang hendak membelokkannya. Ingatlah, setan merupakan musuh orang-orang beriman. Dia tidak akan pernah tinggal diam. Dia akan selalu berusaha dengan segala cara untuk menggoda manusia, sehingga rusaklah amal.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Syarat kedua agar diterimanya amal seseorang, ialah ittiba. Artinya, amal ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah utusan Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya. Sebagai utusan-Nya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mengetahui tentang risalah-Nya. Dan semuanya sudah disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sudah seharusnya kaum muslimin mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Demikian itulah dua syarat yang disimpulkan oleh para ulama dari banyak dalil, baik dari Alquran maupun sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat inilah yang akan menentukan amal kita diterima ataukah ditolak. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak akan diterima. Jika persyaratan yang tidak terpenuhi itu syarat yang pertama, maka si pelaku bisa terjerembab ke dalam lembah kesyirikan, wal’iyadzubillah. Sedangkan jika yang tidak terpenuhi itu syarat yang kedua, maka si pelaku masuk ke dalam perbuatan bid’ah yang sesat.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Imam Ibnul Qayim mengatakan, “Seseorang tidak akan mungkin bisa merealisasikan iyyaka na’budu (maksudnya peribadatan kepada Allah), kecuali dengan dua dasar. Yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Fudhail Bin Iyadh, menjelaskan makna ayat,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maksud kalimat ahsanu amalan ialah yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali. Apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar amalnya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya amal itu, jika dikerjakan ikhlas karena Allah akan tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga jika amal itu benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima Allah sampai amal tersebut memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Hujajul Qawiyyah, Hal. 12)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amalan-amalan yang telah memenuhi kedua syarat tersebut, dinamakan dengan amal shalih. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Juga dalam firman-Nya,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنُ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Sebagai seorang muslim, kita harus berusaha untuk mewujudkan kedua persyaratan tersebut ketika beramal. Rasanya sulit bagi kita untuk mewujudkannya, kecuali dengan senantiasa belajar dan belajar lagi. Dan alhamdulillah, pada saat ini kita tidak terlalu kesulitan mempelajari agama kita. Berbagai media telah dimanfaatkan oleh para dai untuk membantu kita dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bagaimanakah kita sekarang. Maukah kita mempelajari agama ini untuk memperbaiki amaliah kita ataukah tidak? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kemudahan untuk mempelajari, memahami dan selanjutnya mengamalkan ilmu yang sudah kita terima.
Dalam khutbah pertama, telah saya jelaskan tentang dua syarat diterimanya suatu amal. Maka dalam khutbah yang kedua ini ingin kami sampaikan pembagian manusia berdasarkan kedua syarat tersebut.
Salah seorang ulama besar Ibnul Qayyim Al Jauzi berkata, “Berdasarkan kedua syarat yang agung ini, manusia terbagi menjadi empat golongan.
Ahlul ikhlas dan muttaba’ah (orang yang ikhlas dan mengikuti). Merekalah ahlu iyyaka na’budu yang hakiki. Sehingga semua amal-amal mereka, pembicaraan, pemberian, pelarangan, kecintaan serta kebencian mereka, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muamalah mereka lahir-batin ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Demikian juga amal-amal serta ibadah-ibadah mereka, sesuai dengan perintah Allah, sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya.
Inilah amalan yang akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan untuk tujuan ini jualah Allah menguji hambanya dengan kematian dan kehidupan, Allah tidak akan menerima suatu amal, jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amal yang tidak sesuai dengan kedua syarat tersebut akan dikembalikan kepada pelakunya bagaikan debu yang berhamburan. Semua amal yang tidak mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak akan menghasilkan kebaikan apa-apa, bahkan akan menambah semakin jauh dari Allah.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Itulah golongan pertama yang disebutkan oleh Ibnul Qayim, sebuah golongan yang benar dalam beramal dan akan mendapatkan balasan baik dari Allah. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang pertama ini.
Kemudian beliau menyebutkan tiga golongan lainnya yang menyimpang yaitu,
-          Orang yang tidak ikhlas dan juga tidak mengikuti tuntunan. Mereka ini seperti orang-orang yang mencari nama dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang disyariatkan. Mereka inilah sejelek-jelek makhluk dan makhluk yang paling dimurkai.
-          Orang yang beramal ikhlas karena Allah, tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ahli ibadah yang tidak tahu apa-apa, atau siapa saja yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak pernah disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
-          Orang yang beramal sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak ikhlas karena Allah. Misalnya seseorang beramal mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar mendapatkan pujian, berjihad agar disebut sebagai pemberani, berhaji agar dipanggil haji, dll. Secara zhahir kelihatannya amal shalih, padahal sesungguhnya bukan amal shlaih. (Hujajul Qawiyyah, Hal. 13)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Setelah mengetahui empat golongan manusia tadi, maka marilah kita mawas diri, masuk ke dalam golongan manakah kita ini? Barangsiapa yang memiliki ciri-ciri golongan pertama, yaitu ikhlas dalam beramal dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia-Nya tersebut, serta berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa diberikan kekuatan untuk istiqomah. Dan agar pendiriannya ditetapkan berada di atas agama yang benar ini. Sebaliknya barangsiapa yang mendapati pada dirinya ciri-ciri golongan kedua dan seterusnya, maka hendaklah segera bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat, sambil senantiasa berdoa agar mendapat taufik dan hidayah-Nya.
Demikianlah khutbah yang bisa kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita. Yang benar semuanya dari Allah, dan yang salah semuanya dari sisi saya dan setan.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 3 Tahun ke-7  1424/ 2003 dengan beberapa penyuntingan oleh redaksi www.khotbahjumat.com