SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

June 27, 2013

Saling Memaafkan Sebelum Ramadhan


Tanya:

Apakah perlu seseorang saling maaf-memaafkan sebelum puasa ramadhan? Jazakillah khairan.

Jawab:
Maaf-memaafkan adalah suatu akhlak yang baik dan dianjurkan. Anjuran hal tersebut adalah pada segala keadaan, saat terjadi hal yang memerlukan pemaafan.
Adapun pengkhususan maaf-memaafkan pada waktu tertentu, seperti hari Id dan saat memasuki Ramadhan, adalah hal yang tidak ada syariatnya. Wallahu a’lam.
Sumber: Dzulqarnain.net

Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan


Tanya:

Apakah ada dalilnya tentang kebiasaan orang menjelang ramadhan dengan ziarah ke makam-makam orang tua? Dan doa apa saja yang dibaca ketika ziarah kubur?

Jawab:
Tidak ada dalil khusus menjelaskan syariat berziarah kubur menjelang Ramadhan, bahkan hal tersebut adalah bid’ah mungkar dalam agama yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Sumber: Dzulqarnain.net

Adakah doa khusus menyambut Ramadhan?

Soal:
“Adakah doa-doa khusus dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang dibaca) ketika masuk bulan Ramadhan yang penuh berkah ? Doa apakah yang wajib di baca oleh seorang muslim pada malam pertama bulan ramadhan ? Berilah kami jawaban, semoga Allah memberkati anda”.


Jawab :
Saya tidak mengetahui adanya doa khusus yang dibaca ketika masuk bulan ramadhan. Yang ada hanyalah doa umum untuk seluruh bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), baik hilal ramadhan ataupun bulan-bulan yang lain, beliau berdoa : “Ya Allah, terbitkanlah (dan tampakkanlah) hilal kepada kami (diiringi) dengan keberkahan dan keimanan serta keselamatan dan keislaman, (jadikanlah dia) sebagai hilal kebaikan dan petunjuk, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.


(HR. At-Tarmidzi (9/142), imam Ahmad (1/162), Ad-Darimi (2/7) dan lain-lain, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 220).
“Allah Maha Besar, Ya Allah, terbitkanlah (dan tampakkanlah) hilal itu kepada kami (diiringi) dengan keamanan dan keimanan serta keselamatan dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”.


Doa ini dibaca ketika melihat hilal di bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya. Adapun kekhususan membaca doa-doa tertentu ketika masuk bulan ramadhan, saya tidak mengetahui adanya yang seperti itu. Akan tetapi kalau seorang muslim berdoa kepada Allah agar membantunya menjalankan puasa di bulan itu dan menerima puasanya, maka tidaklah mengapa. Hanya saja, dia tidak boleh menentukan (doa-doa tertentu sebagai) doa-doa khusus (untuk bulan Ramadhan).
Wallahu a’lam.
Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (4 / 92).
Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 20 / Sya’ban / 1425 H
Dari: darussalaf.or.id

June 25, 2013

Mengapa Islam memperingati umatnya dari bid'ah .


1. Bid’ah merupakan penyebab terjadinya perpecahan umat
Tidaklah perpecahan dan perselisihan yang terjadi di umat ini melainkan disebabkan oleh kebid’ahan yang tersebar di tengah-tengah umat Islam. Allah berfirman,
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Menurut sebagian salaf, di antaranya Mujahid bin Jabr rahimahullah, bahwa makna as-subul (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat. Sehingga maksud firman Allah “dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)”adalah janganlah kalian mengikuti kebid’ahan dan berbagai syubuhat.
2. Bid’ah adalah penyebab tertolaknya amalan
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa yang mengada-adakan (kebid’ahan) dalam urusan(agama) kami yang sebenarnya bukan bagian dari agama kami tersebut, maka ia akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh,
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan bagian dari urusan agama kami, maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR. Muslim)
3. Semua bentuk kebid’ahan adalah sesat
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Dan hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya dari shahabat Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
4. Pelaku bid’ah tidak diterima taubatnya , berbeda dengan pelaku maksiat yang lain, sehingga bid’ah pun lebih disukai iblis daripada maksiat
Yakni sangat sulit bagi pelaku bid’ah untuk bertaubat dari kebid’ahannya, berbeda dengan pelaku maksiat. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena bid’ah itu tidak akan diampuni, adapun maksiat akan diampuni.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa bid’ah tidak akan diampuni adalah firman Allah ta’ala,
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 103-104)
Bagaimana pelaku bid’ah akan bertaubat sementara ia meyakini bahwa kebid’ahan yang ia perbuat itu merupakan kebaikan?
5. Pelaku bid’ah, pada hakekatnya telah menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah khianat dalam menyampaikan risalah, ada beberapa risalah (ajaran) yang belum beliau sampaikan kepada umatnya.
Sungguh beliau telah sempurna dalam mengemban amanah risalah ini. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali telah beliau ajarkan kepada umatnya, dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan agar umatnya menjauhinya.
Barangsiapa yang berkata, beramal, atau berkeyakinan dengan sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara ia menganggapnya suatu kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah dalam menyampaikan risalah ini.
Wallahu a’lam bish shawab.
(Diambil secara ringkas dari catatan pelajaran Ushulus sunnah Al-Imam Ahmad bin Hanbal di Ma’had As-Salafy Jember, disampaikan oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh).

Nabi tak dapat memberi hidayah, kecuali dengan kehendak Allah


Firman Allah Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah  lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakiNya, dan Allah  lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash :56)
Diriwayatkan dalam shahih Bukhori, dari Ibnul Musayyab, bahwa bapaknya berkata : “Ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, maka datanglah Rasululloh, dan pada saat itu Abdullah bin Abi Umayyah, dan Abu Jahal ada disisinya, lalu Rasululloh bersabda kepadanya :
“Wahai pamanku, ucapkanlah “la ilaha illAlloh” kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu dihadapan Allah”.
          Tetapi Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal berkata kepada Abu Thalib : “Apakah kamu membenci agama Abdul Muthollib ?”, kemudian Rasululloh mengulangi sabdanya lagi, dan mereka berduapun mengulangi kata-katanya pula, maka ucapan terakhir yang dikatakan oleh Abu Thalib  adalah : bahwa ia tetap masih berada pada agamanya Abdul Mutholib, dan dia menolak untuk mengucapkan kalimat la ilah illAlloh, kemudian Rasululloh bersabda : “sungguh akan aku mintakan ampun untukmu pada Allah , selama aku tidak dilarang”, lalu Allah  menurunkan firmanNya :
“Tidak layak bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang- orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam.
(QS. At -Taubah; [9:113] )
 
          Dan berkaitan dengan Abu Tholib, Allah  menurunkan firmanNya :
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tak sanggup memberikan hidayahpetunjuk) kepada orang-orang yang kamu cintai, akan tetapi Alloh lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya” (QS. Al Qashash: 57)
        Kandungan bab ini :
  1. Penjelasan tentang ayat 57 surat Al Qashash ([2]).
  2. Penjelasan tentang ayat 113 surat Al Bara’ah ([3]).
  3. Masalah yang sangat penting, yaitu penjelasan tentang sabda Nabi ShallAllohu’alaihi wa Sallam : “Ucapkanlah kalimat la ilaha illAlloh”, berbeda dengan apa yang difahami oleh orang-orang yang mengaku dirinya berilmu ([4]).
  4. Abu Jahal dan kawan-kawannya mengerti maksud Rasululloh ketika beliau masuk dan berkata kepada pamannya : “Ucapkanlah kalimat la ilah illAlloh”, oleh karena itu, celakalah orang yang pemahamannya tentang asas utama Islam ini lebih rendah dari pada Abu Jahal.
  5. Kesungguhan Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam dalam berupaya untuk mengislamkan pamannya.
  6. Bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Abdul Mutholib dan leluhurnya itu beragama Islam.
  7. Permintaan ampun Rasululloh untuk Abu Thalib  tidak dikabulkan, ia tidak diampuni, bahkan beliau dilarang memintakan ampun untuknya.
  8. Bahayanya Berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berprilaku jahat.
  9. Bahayanya mengagung-agungkan para leluhur dan orang-orang terkemuka.
  10. “Nama besar” mereka inilah yang dijadikan oleh orang-orang jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
  11. Hadits diatas mengandung bukti bahwa amal seseorang itu yang dianggap adalah di akhir hidupnya, sebab jika Abu Thalib  mau mengucapkan kalimat tauhid, maka pasti akan berguna bagi dirinya di hadapan Allah .
  12. Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang yang sesat itu untuk menerima tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal pikiran mereka, sebab dalam kisah diatas disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal NabiShallAllohu’alaihi wa Sallam sudah berusaha semaksimal mungkin, dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya. Dan karena kalimat tauhid itu memiliki makna yang jelas dan konsekuensi yang besar, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
    **************
    ([1])   Bab ini merupakan bukti adanya kewajiban bertauhid kepada Allah . Karena apabila Nabi Muhammad sebagai makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah , tidak dapat memberi hidayah kepada siapapun yang beliau inginkan, maka tidak ada sembahan yang haq melainkan Allah , yang bisa memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
([2])   Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah (petunjuk) untuk masuk Islam itu hanyalah di Tangan Allah  saja, tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan seseorang menapaki jalan yang lurus ini kecuali dengan kehendakNya, dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali itu dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudhorat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan, dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
([3])  Ayat ini menunjukkan tentang haramnya memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, dan haram pula berwala’ (mencintai, memihak dan membela) kepada mereka.
([5])  Penjelasannya ialah : diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu : memurnikan ibadah hanya kepada Allah, dan membersihkan diri dari ibadah kepada selainNya, seperti : malaikat, nabi, wali , kuburan, batu, pohon, dan lain lain.

Sumber: al-mamujuwy.com

Nasihat Ulama Saudi kepada Gubenur Jazan dan Balasan Gubernur



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Nasihat Mufti kpd Amir Jazan
Terjemahan Surat:
Kerajaan Saudi Arabia, Kantor Pusat Pembahasan Ilmiah dan Fatwa, Kantor Pusat Komite Ulama Besar (no. 241)
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Muhammad Aaalus Syaikh, kepada Yang Mulia Gubernur Propinsi Jazan –semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepadanya.
Assalaamu’alaykum warohmarullahi wabarokaatuh, wa ba’du:
Telah menyurat kepada kami sebagian orang yang mau menasihati, tentang keberadaan patung kuda di bagian timur jalan Al-‘Aridhah wilayah Abu ‘Urays, dan ini adalah kemungkaran yang besar, sebab patung-patung bernyawa hukumnya haram berdasarkan dalil dari sunnah yang mulia.
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالا إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi, ia berkata, Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, Aku akan mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengutusku, janganlah engkau biarkan sebuah patung kecuali engkau hancurkan, dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.” [HR. Muslim dan Abu Daud dalam Sunannya (lafaz pada fatwa milik Abu Daud)]
Oleh karena itu wajib menghilangkan patung tersebut, dan memperingatkan kepada yang diberikan tugas untuk tidak lagi membuat patung-patung bernyawa.
Semoga Allah memberikan taufiq untuk semuanya kepada apa yang dicintai dan diridhoinya.
Wassalaamu’alaykum warohmatullahi wabarokaatuh.
Ttd
Mufti umum Kerajaan Saudi Arabia
Dan Pemimpin Komite Ulama Besar dan Kantor Pembahasan Ilmiah dan Fatwa.

Balasan Gubernur terhadap Surat Nasihat Mufti:

Balasan Amir Jazan atas Nasihat
Terlihat kaki patung kuda yang tersisa
Demikianlah teladan dari seorang penguasa muslim dan ulama Ahlus Sunnah dalam menasihati penguasa.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Begini lah sikap penguasa yang wara' , tawadu' dan alim. Pabila mengetahui sesuatu kemungkaran cepat di perbaiki bukan malah di pertahankan dengan berbagai alasan.

June 24, 2013

Membenci Ajaran Islam, Semua Amal Kebaikan Terhapus (Telah Kafir)


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Tidak ada manusia yang lebih sesat daripada orang yang membenci Allah Subhanahu Wa Ta'ala  atau apa yang datang dari sisi-Nya. Orang ini tidak mengenal Allah Ta’ala dengan sebenarnya sehingga ia ingkar terhadap nikmat-nikmat-Nya dan menyombongkan diri dari beribadah kepada-Nya.
Pada dasarnya, membenci ajaran Islam tidak akan dilakukan kecuali oleh orang kafir dan munafikin. Sedangkan membenci Allah Ta’ala tidak akan dilakukan kecuali oleh orang atheis. Sementara membenci apa yang Allah turunkan tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang musyrik dan kafir Ahli Kitab.

Di antara orang-orang yang membenci apa yang Allah turunkan adalah orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan di tengah kaumnya. Ia bisa mengeluarkan peraturan dan undang-undang yang melarang rakyatnya dari mengamalkannya. Ini termasuk tindakan orang kafir zaman dahulu dan sekarang, baik mereka dari kalangan musyrikin atau ahli kitab. Sebab, mereka terang-terangan melarang kaum muslimin menjalankan ajaran agamanya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ . ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 8-9)
Ada juga orang yang  membenci ajaran yang Allah turunkan adalah orang-orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Secara zahir orang-orang tersebut bagian dari mereka. Mereka ini yang disebut munafikin. Ia menyembunyikan kebencian tersebut. Tidak menampakkannya kecuali saat kaum muslimin lemah, tidak akan diserang oleh mereka, atau muncul secara reflek dari lisan mereka dan nampak dari gaya bicara mereka.

Berdasarkan ayat ini maka para ulama mengambil kesimpulan akan kufurnya orang yang membenci ajaran yang dibawa RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam walaupun ia mengamalkannya. Karena apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu berasal dari apa yang Allah turunkan. Dan Allah telah menghukumi orang yang membenci apa yang Allah turunkan dengan dihapus amal-amal mereka. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

June 22, 2013

Bahaya Bid'ah


Oleh : Ustadz Abu Adib
Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, menyatakan dalam bab "Larangan dari bid'ah dan perkara baru dalam agama". Bid'ah secara bahasa artinya sesuatu yang diciptakan manusia yang belum ada contoh sebelumnya. Seperti Firman Allah 'Azza wajalla :
"Allah menciptakan langit dan bumi yang tidak ada contoh sebelumnya.” (Al-Baqarah : 117)
Adapun bid'ah secara syari'at terjadi sedikit perbedaan di kalangan para 'ulama. Asy-Syaikh 'Utsaimin menyatakan : "Bid'ah adalah setiap orang yang menyembah Allah atau beribadah kepada Allah, dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan, baik secara aqidah, perkataan maupun perbuatan".
Imam Asy-Syathibi berkata : "Bid'ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama guna menandingi syari'at dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala".
Dan Syaikh 'Abdul Wahhab Al-Washaby berkata : "Bid'ah adalah setiap keyakinan, atau perkataan, atau amalan yang diada-adakan setelah kematian Rasulullah , dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tidak ada dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah".

Pembaca yang budiman, berikut ini akan kami paparkan tentang bahaya-bahaya bid'ah :
Pertama, bid'ah adalah sesuatu yang tidak dinashkan dalam Al-qur'an dan As-Sunnah. Allah Subhaanahuwata'ala berfirman :
”Maka tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan".
Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah bersabda :
“Setiap bid'ah adalah sesat".
Dan telah dimaklumi bersama, bahwa tidak mungkin seorang mukmin akan memilih jalan yang akan menyesatkannya. Karena, hal itu bertolak belakang dengan do'a mereka (orang-rang yang beriman) setiap kali sorang mukmin shalat. Yaitu mereka meminta agar dijauhkan dari jalan- jalan yang sesat, ketika membaca Firman Allah Ta'ala
 “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat."

Kedua, orang yang berbuat bid'ah berarti mereka telah keluar dari mengikuti Nabi .
Allah berfirman :
“Katakanlah ; "Jikalau kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah). Niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Al-Imran : 31)
Barang siapa membuat suatu bid'ah (sesuatu yang diada-adakan) yang dengan bid'ah itu ia gunakan untuk beribadah kepada Allah, maka dia telah keluar dari tuntunan Rasulullah .

Ketiga, orang yang berbuat bid'ah bertentangan dengan kesaksian mereka :
"Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah".
Karena di syahadat rasul ini memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut :
1. mentaati apa yang diperintahkan oleh Rasulullah . Dan orang yang berbuat bid'ah tidak mentaati Rasulullah .
2. Membenarkan apa yang dikabarkan. Orang yang berbuat bid'ah berarti mereka tidak membenarkan kabar dari Rasulullah . Dimana Rasul mengabarkan :
"Setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat itu di neraka".
"Barang siapa yang beramal yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak".
  1. Meninggalkan apa yang Nabi larang.
  2. Tidaklah Allah diibadahi kecuali dengan apa yang telah disyari'atkannya.
Keempat, bid'ah itu adalah mencela Islam. Orang yang berbuat bid'ah berarti telah tersirat dalam hatinya bahwa Islam itu belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah dengan bid'ah yang mereka ada-adakan.
Padahal Allah berfirman :
"Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha islam menjadi agama bagi kalian". (Al-Maidah : 3)
 Kelima, bid'ah mengandung celaan terhadap Rasulullah . Kalau orang yang berbuat bid'ah beranggapan bahwa Rasulullah tidak tahu, maka pelaku bid'ah ini telah menuduh bahwa Rasulullah jahil (bodoh). Sedangkan kalau mereka menyatakan bahwa Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak menyampaikan kepada umatnya berarti pelaku bid'ah menuduh Nabi khianat dengan risalahnya.
Keenam, bid'ah bisa menjadikan penyebab pemecah belah umat Islam. Jika telah di buka pintu- pintu bid'ah, maka setiap kelompok akan membuat bid'ah, seperti yang telah terjadi pada umat Islam sekarang ini. Setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada kelompoknya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
“Tiap kelompok bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya". (Ar-Rum : 32) Setiap kelompok akan berkata "kebenaran ada bersama kami dan yang lainnya sesat". Pembaca yang budiman, untuk lebih jelasnya mari kita lihat contoh :
Orang-orang yang mengada-ada bid'ah Maulid Nabi , (Ulang tahun kelahiran Nabi) yang mereka tetapkan pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal. Tahukah kita apa yang akan diucapkan oleh orang- orang yang melakukan bid'ah ini? Mereka berkata bahwa : "Orang-orang yang tidak merayakan hari kelahiran Nabi itu berarti mereka adalah orang-orang yang marah dan membenci Nabi, mereka adalah orang-orang yang tidak bergembira dengan kelahiran Nabi...". dan ucapan-ucapan jelek lainnya.
Perhatikanlah wahai para pembaca yang mulia ... Satu bid'ah yang mereka lakukan telah menjadikan mereka saling mencemooh, saling menghina kelompok satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, semakin umat Islam banyak melakukan bid'ah maka akan semakin banyak perpecahan di tengah umat Islam.
Ketujuh, jika bid'ah telah menyebar pada umat, maka pudarlah sunnah. Karena, jika manusia mengerjakan bid'ah baik secara langsung maupun tidak langsung maka ia telah merusak sunnah.
Maka dari itu sebagian ‘ulama salaf berkata, "Tidaklah suatu kaum berbuat bid'ah kecuali mereka telah menghilangkan sunnah yang sepertinya atau yang lebih besar darinya". Karena bid'ah itu telah menyebabkan lupa kepada sunnah dan memudarkan persatuan diantara umat Islam.
Pembaca yang budiman, semoga risalah ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a'lam bish- shawab.
Rujukan : Syarah Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh 'Utsaimin
Sumber: mediasalaf.com 

Kehancuran Umat Islam Karena Saling Bermusuhan

Dari Tsauban Radiyallaha anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah memperlihatkan seluruh bumi kepadaku hingga aku dapat melihatnya, baik itu bagian timur maupun bagian barat.

Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai bagian-bagian bumi yang telah diperlihatkannya kepadaku.

Aku telah dianugerahkan dua perbendaharaan, merah dan putih.

Sesungguhnya aku telah memohonkan kepada Tuhanku mengenai umatku,

1.)   Semoga Allah tidak menghancurkan umatku dengan habisnya pagan dalam setahun penuh.

2.)   Semoga Allah tidak menjadikan umatku dapat dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala mereka.

Sesungguhnya Tuhanku telah berfirman, " Hai Muhammad, apabila Aku telah memutuskan sesuatu, maka sesuatu itu pasti tidak akan tertolak.

Sesungguhnya Aku telah menjamin umatmu bahawasanya,

1}.   Aku tidak akan menghancurkan umatmu dengan kehabisan pangan (pacelik) dalam setahun penuh.

2}.   Aku tidak akan menjadikan umatmu dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala mereka ---- meskipun mereka di serang dari berbagai penjuru, KECUALI  jika sesama umatmu saling menghancurkan dan saling menawan."

{Muslim 8/171}  dishahihkan oleh Shaikh al-Albani. Shahih Muslim

Ini adalah satu hadith yang agung, yang mana jika kita cermati isi kandungannya kita tidak akan tersibuk, terkecuh mencari, membuat alasan 'untuk kemaslahatan umat' sehingga pokok agama di kompromasikan.
Selagi umat Islam bersatu padu, beragama atas manhaj yang benar yang telah di tunjuk ajar oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan dipraktikkan oleh generasi terbaik dahulu, Allah menjanjikan perlindunganNya dari kaum kafir, kaum yang dzalim.


Tapi sayangnya kita berpecah belah, berkelompok, membuat bid'ah , mereka- reka beraneka ragam cara beribadah yang tidak dipraktikkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga generasi terdahulu. Umat sekarang beragama mengikut selera ramai, mengikut hawa nafsu masing masing. Kita tidak bersatu, hanya sekelompok kecil yang berpegang teguh pada Sunnah, berjalan atas manhaj para salafussoleh.

Yang batil tidak mungkin bercampur dengan yang haq. Kita sudah pun lihat kejadian yang sedang berlaku di sebelah belahan bumi. Bukan orang kafir yang membantai orang Muslim, tapi orang-orang yang memerangi orang Mukmin dibawah panji panji ' imam imam berlainan fahaman cara beragama'.

Wallahu a'lam

June 18, 2013

Wahai Syaikh, jika perbuatan ini adalah jalan menuju shurga, manakah jalan menuju Neraka?

Jika Anda memperhatikan ibadah-ibadah seperti shalat, haji, iktikaf, puasa dan wudhu, Anda akan memahami bahawa perbuatan-perbuatan yang mubah tertentu dapat menafikan ibadah-ibadah tersebut. Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram (dalam haji) dilarang untuk menikah, bercengkerama, bersetubuh serta dilarang daripada segala perbuatan yang dapat mendorongnya kearah perbuatan-perbuatan tersebut. Demikian juga halnya dengan orang yang sedang beriktikaf, berpuasa.

Kaum wanita dilarang menjadi imam bagi kaum lelaki, mereka dilarang memperdengarkan suara tasbih kepada kaum lelaki. Mereka harus tetap pada saf belakang lelaki. Jika seorang wanita melalui batas saf seorang lelaki yang sedang shalat, maka shalat itu terbatal.

Menurut mazhab jumhur, menyentuh wanita dengan syahwat membatalkan wudhu menurut Syaf'i bahkan batal secara mutlak.

Semua ini adalah supaya hati seseorang yang sedang shalat tidak dikaitkan dengan apa pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka golongan yang dzalim mengubah agama Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan amalan-amalan yang tidak dishariatkan sama sekali. Mereka malah menganggap kehadiran bentuk dan rupa yang elok serta suara nyanyian dan musik yang membangkitkan ghairah sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah Subhanhu wa Ta'ala. Inilah seburuk-buruknya perbuatan merubah agama dan mengikuti shaitan.

Saya pernah mendengar Syaikh Ibn Taimiyyah bercerita bahwa seorang syaikh yang gemar pada nyanyian dan muzik serta bentuk dan rupa yang elok pernah ditanya oleh seseorang, "Wahai Syaikh, jika perbuatan ini adalah jalan menuju shurga, manakah jalan menuju Neraka?"

Bagaimana mungkin bacaan Quran, (perkara ibadah) dapat menjadi suatu bentuk taqarrub jika disertai dengan musik, nyanyian yang sama sekali tidak dishariatkan?

Petikan dari 'Menyingkap Hukum Nyanyian'  oleh Ibnu Qayyim

June 15, 2013

Makhluk yang Pertama Menangis dan yang Pertama pula menyanyi

"Adalah iblis (makhluk) yang pertama menangis dan yang pertama pula menyanyi."

Riwayat ini sering di dengar tetapi tidak ada sumbernya.  Al-Ghazali mengutarakannya dalam Ihya' II/251 dengan sanad dari Jabir radiyallahanhu. Al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya' berkata, "Saya tidak menemukan sumbernya dari hadith Jabir." Wallahu a'lam.

Silsilah Hadith Dhai'f dan Maudhu' Jilid 1, no 444, oleh Shaikh al-Albani.

Banyak Tertawa Mematikan Hati


Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ“Janganlah kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. At-Tirmizi no. 2227, Ibnu Majah no. 4183, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7435)

Dari Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dia berkata:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَجْمِعًا ضَاحِكًا حَتَّى أَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ إِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ“Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan tenggorokan beliau, beliau biasanya hanya tersenyum.” (HR. Al-Bukhari no. 6092 dan Muslim no. 1497)


Penjelasan ringkas:
Sebaik-baik perkara adalah yang sederhana dan pertengahan. Tatkala Islam mensyariatkan untuk banyak tersenyum, maka Islam juga melarang untuk banyak tertawa, karena segala sesuatu yang kebanyakan dan melampaui batas akan membuat hati menjadi mati. Sebagaimana banyak makan dan banyak tidur bisa mematikan hati dan melemahkan tubuh, maka demikian pula banyak tertawa bisa mematikan hati dan melemahkan tubuh. Dan jika hati sudah mati maka hatinya tidak akan bisa terpengaruh dengan peringatan Al-Qur`an dan tidak akan mau menerima nasehat, wal ‘iyadzu billah.

Karenanya tidaklah kita temui orang yang paling banyak tertawa kecuali dia adalah orang yang paling jauh dari Al-Qur`an.

Adapun hukum banyak tertawa, maka lahiriah hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan haramnya, karena hukum asal setiap larangan adalah haram. Apalagi disebutkan sebab larangan tersebut adalah karena bisa mematikan hati, dan sudah dimaklumi melakukan suatu amalan yang bisa mematikan hati adalah hal yang diharamkan.

Adapun tertawa sesekali atau ketika keadaan mengharuskan dia untuk tertawa, maka ini adalah hal yang diperbolehkan. Hanya saja, bukan termasuk tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam jika seorang itu tertawa sampai terbahak-bahak. Karenanya tertawa terbahak-bahak adalah hal yang dibenci walaupun tidak sampai dalam hukum haram, wallahu a’lam.
Sumber: al-atsariyyah.com

June 11, 2013

Hadith Maudhu' tentang "Kalau bukan kerana engkau (wahai Muhammad) pastilah Aku........

"Kalau bukan kerana engkau (wahai Muhammad), pastilah Aku tidak menciptakan planet planet ini."  [ Hadith no. 282 ]

Shaikh Al-Albani mengatakan ini hadith maudhu'. Ash-Shaghani menyatakannya dalam kitab al-Ahaditsul Maudhu'ah hal 7. Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadith serupa yang di keluarkan oleh  Ibnul Jauzi dalam kitab al- Maudhu'at seraya memastikan sebagai hadith maudhu'. Pemastian Ibnul Jauzi tersebut juga ditetapkan dan diakui oleh as-Sayuthi dalam kitab al -La'ali 1/272.

Silsilah Hadith Dha'if dan Maudhu' Jilid 1, no282. Oleh Shaik Al-Albani.

June 9, 2013

Hadith tidak shahih tentang surat al-Waqiah

Beberapa hadith popular berkenaan ganjaran membaca surah al-Waqiah, tetapi ternyata tidak shahih.

"Barangsiapa yang membaca surat al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan ditimpakan kefakiran selama-lamanya."   [ Hadith no. 289 ]

Hadith ini Dhaif', kerana sanadnya dhaif'. Adz-Dzahabi berkata bahwa Abu Syuja' Nakrah tidak dikenal. Kemudian Abu Thayyibah dikenali di kalangan muhadditsin, kerana itu dalam mengutarakan biographinya adz-Dzahabi dengan tegas menyatakan, 'Majhul'. Adapun az-Zaila'i berkata, "Kelemahan hadith ini ada empat. 1, terputus sanad. 2, matan hadith munkar,kata Imam Ahmad. 3, Ibnul Jauzi mengatakan para perawi Dhaif. 4, ketidakpastian perawi-perawi sanadnya, hingga Imam Ahmad, Abu Hatim, Daru Quthni, Baihaqi dan sebagainya sepakat memvonis sebagai hadith Dhaif yang tidak dapat dijadikan hujjah. (Dalil).


"Barangsiapa membaca surat al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan tertimpa kefakiran selamanya. Dan barangsiapa membaca surat laa uqsimu biyaumil qiyamah setiap malamnya, maka pada hari Kiamat nanti ia akan menjumpai Allah dengan wajah bagaikan bulan purnama."
[ Hadith no. 290 ]

Hadith ini maudhu'. Ad-Dailami meriwayatkan dengan sanad dari Ahmad bin Umar al-Yamami dengan sanad dari Ibnu Abbas. As-Suyuthi mengatakan Ahmad bin Umar al-Yamami adalah pendusta.


"Barangsiapa membaca surat al-Waqiah dan mempelajarinya, maka ia tidak dicatat masuk dalam golongan orang-orang yang lalai, dan dia serta keluarganya tidak akan tertimpa kefakiran.
[ Hadith no. 291]

Shaikh al-Albani mengatakan ini hadith maudhu' . As-Suyuthi berkata "Abdul Quddus bin Habib tidak diterima riwayatnya oleh para muhadditsin.  Bahkan Ibnu Hibban dengan lantang mengucapkan bahwa Abdul Quddus itu telah banyak membuat hadith palsu.

Sisilah Hadith Dhaif' dan Maudhu' Jilid 1, oleh Shaikh al-Albani.

June 8, 2013

Manusia masuk kedalam api Neraka melalui tiga pintu....

Manusia masuk kedalam api neraka melalui tiga pintu:
pertama, pintu syubhat yang mengakibatkan keraguan kepada Allah. Kedua, pintu syahwat yang mengakibatkan pengumbaran hawa nafsu daripada mentaati dan mencari keredha'an Allah.
Ketiga, kemarahan yang mewariskan permusuhan antara sesama manusia.

Akar kesalahan ada tiga:
Pertama, takabur itulah yang menjurumuskan Iblis kepada kedudukan yang hina.
Kedua, tamak itulah yang mengeluarkan Adam dari Surga
Ketiga, dengki itulah yang menyebabkan salah satu anak Adam membunuh saudaranya sendiri.

Manusia yang paling merugi adalah orang yang melupakan Allah secara sendirian, tetapi yang lebih merugi lagi adalah orang yang melupakan Allah lalu mengajak-ajak orang lain untuk melupakan-Nya.

Kata mutiara Ibnu Qayyim dinukil dari bukunya Al-Fawaid..

Hakikat Dunia

1. Memburu harta bagaikan berburu didalam hutan binatang buas dan belayar didalamnya bagaikan belayar didalam lautan buaya. Kegembiraan yang di peroleh darinya adalah kepedihan yang tertunda. Rasa sakitnya keluar dari rasa nikmatnya, dan kesedihannya lahir dari kegembiraannya. Kesenangan yang berlebihan pada masa muda, akan berubah menjadi adzab dan penderitaan pada masa tua.

2. Burung pipit dapat melihat biji-bijian, mata fikiran dapat melihat jerat, sedangkan mata nafsu adalah buta.

3. Tabiat hawa nafsu muncul dengan meledak-ledak, namun orang-orang yang beriman pada yang ghaib akan melawan dan mengekangnya. "Merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka lah orang-orang yang beruntung. " 1 Sehingga dikatakan kepada mereka, "makanlah dan bersenang-senanglah kamu didunia dalam waktu yang pendek, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berbuat dosa." 2
1. Al-Baqarah: 5
2. Al-Baqarah: 46

Kata kata mutiara dari Ibnu Qayyim dipetik dari Al-Fawa'id

June 7, 2013

Larangan Mencela Orang Mukmin yang Telah Meninggal Dunia

Fenomena hari ini kita lihat ramai orang yang melabel, mencela para ulama muktabar yang dengan jerih lelah memerangi kesyirikan, orang musyrikin dan kafirin, dan menjalankan amar makruf nahi munkar, malah orang begini lah yang selalu dimusuhi di keji dan di beri gelaran yang buruk buruk. Di takuti dengan diberi stigma yang negatif.

Bukan saja orang awam tetapi para ilmuan, para agamawan juga sanggup mencela ulama ulama yang wara' dan taqwa, hanya saja sebab mereka hendak menegakkan dalil dan hujjah yang berbeza. Kerana mereka maseh hendak meneruskan amalan bid'ah dan syiriknya.

Ingatkan akan pesan Nabi shallallahu alaihi wassalam ;

"Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal, kerana sesungguhnya mereka itu telah mendapatkan hasil dari apa yang telah mereka kerjakan."   (HR. Bukhari 1393).

Diharamkan untuk berburok sangka kepada seorang Muslim yang baik, berbeda dengan orang-orang Muslim yang terang-terangang melakukan perbuatan maksiat dan dosa.

Imam An-Nawawi berkata; ketahuilah bahwa ghibah itu dibenarkan pada keadaan yang diizinkan oleh syariat dan tidak mungkin untuk mencapai tujuan shar'i tersebut kecuali dengan melakukan ghibah. Di antara kondisi tersebut adalah, memperingatkan kaum Muslim agar tidak tertipu oleh pemikiran yang keliru dari seseorang, Ahlul bid'ah dan kesalahan para perawi hadits .

Namun Hadits ini menunjukkan haramnya mencela orang-orang yang telah meninggal terutama sekali jika dia seorang yang Mukmin. Apalagi jika terbukti kebenarannya atau dakwah yang dibawanya
.
Wallahu Musta'an.

Taubat Abu Hurairah dari Fatwanya Tentang Seorang Wanita Penzina

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin berkata ;
"Pada suatu malam setelah  melaksanakan shalat Isya bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, aku keluar rumah. Tiba tiba aku bertemu dengan seorang wanita yang memakai cadar, yang berdiri di tengah jalan. Lalu wanita itu berkata, 'Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya aku telah melakukan dosa besar, apakah taubatku akan diterima?' Aku berkata, 'Apa dosamu?'  Wanita itu berkata, 'Sesungguhnya aku telah melakukan perbuatan zina dan aku telah membunuh anak hasil dari perbuatan zina itu.' Maka aku berkata kepada wanita itu, "Sungguh engkau binasa dan engkau akan dibinasakan! Demi Allah sesungguhnya taubatmu tidak akan diterima.' Maka perempuan itu berteriak lalu pingsan. Setelah itu aku berkata kepada diriku sendiri, 'Aku telah memberikan suatu fatwa sementara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada ditengah tengah kami.

Ketika pagi hari, aku segera menemui baginda lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang wanita telah meminta fatwa kepadaku tadi malam begini dan begitu...!' Beliau bersabda,

"Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Raji'uun! Demi Allah, sesungguhnya engkau lah yang akan binasa dan engkaulah yang telah membinasakan! Sejauh mana kedudukanmu dengan firman Allah yang berbunyi; Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (Yakni) akan dilipatgandakan adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjekan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.' " [ QS al-Furqaan (25) :68-70.]

Abu Hurairah berkata, " Maka aku keluar lalu berlari-lari dilorong-lorong kota Madinah. Aku berkata, 'Siapakah yang akan memberitahu aku kepada seorang wanita yang tadi malam ia meminta fatwa kepada ku? ' Anak anak kecil berkata, 'Abu Hurairah telah gila! Hingga ketika hati masuk malam baru aku ketemu wanita itu ditempat yang sama. Maka aku pun beritahu tentang apa yang disabdakan oleh Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa wanita itu boleh bertaubat.

Maka wanita itu berteriak dengan kencang sekali kerana sangat gembira lalu berkata,
"Sesungguhnya aku mempunyai kebun dan kebun itu adalah sedekahku untuk orang-orang miskin, kerana aku telah melakukan dosa.' "

Lihatlah bagaimana orang dahulu tidak meremehkan dosa dan ikhlas dalam bertaubat.
Semoga Allah Ta'ala menerima taubat, mengampuni kesalahan, meluruskan lisan dan menghibur kedukaan hati kita...

Petikan dari buku 'Taubat' Ibnu Qudamah ...

June 5, 2013

Tempat Masuknya Shaitan

Segala sesuatu yang berisi tidak boleh dimasuki shaitan kecuali melalui tiga jalan:

Pertama:- menumpuk-numpuk dan berlebih-lebihan. Menambah sesuatu sesuai dengan kebutuhan adalah baik. Ini merupakan batas shaitan dan tempat masuknya kedalam hati. Adapun jalan untuk menyelamatkan diri dari shaitan adalah dengan tidak memberikan kepada hawa nafsu makanan, tidur, kenikmatan dan istiharat yang cukup. Jika kamu bisa menutup pintu ini, niscaya kamu akan merasa aman dari masuknya musuh kedalamnya.

Kedua:- lalai, sedang dzikir adalah bentengnya. Jika seseorang lalai maka akan terbuka lah benteng itu, musuh akan masuk sehingga menyusahkannya dan sulit untuk mengeluarkannya.

Ketiga:- mengerjakan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.

Oleh Ibnu Qayyim dari Al-Fawa'id, Pustaka al-Kautsar.

Memandang Baik Terhadap Sesuatu

Al-Tazyin artinya menjadikan memandang baik pada sesuatu yang berasal dari Allah Subhanahuwataala. Ini merupakan sesuatu yang baik kerana dapat membezakan orang ta'at dan durhaka, orang Mukmin dan orang kafir. Dan merupakan pula sebagai ujian. Misalnya memandang terhadap ciptaan Allah yang ada dimuka bumi ini dengan sebaik-baik ciptaan sehingga mereka menjadi tertarik.

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya. "
[ QS. Al-Kahfi: 7]

Sementara Tazyin dari shaitan pula merupakan sesuatu yang buruk. Jika seseorang hamba memandang baik terhadap perbuatan buruk, maka bererti Allah menghukum mereka atas kedurhakaannya sendiri. Jika Allah telah memberitahukan yang buruk dari yang baik kepada seseorang, lalu ia mengutamakan, memilih dan menyukai keburukan itu, maka Allah akan menjadikannya memandang baik perbuatan buruk itu.

Setiap orang dzalim, fasik, durhaka dan jahat sudah pasti telah diberitahu Allah sebelumnya bahwa semua bentuk perilaku tersebut buruk. Bila ia maseh melakukannya, maka hatinya akan dijadikan atau dibuat condong kepada keburukan itu. Allah menghukumnya dengan kecondongan hati terhadap keburukan tersebut.

Maka jelas lah bahwa tazyin yang dilakukan Allah terhadap seorang hambaNya merupakan bentuk keadilan, hikmah sekaligus hukumanNya. Adapun tazin shaitan merupakan kekeliruan dan kedzaliman.

Dari itu waspadalah hai manusia, sesuatu perkara yang memang buruk, janganlah engkau berdaleh, membuat helah, berlipat lidah untuk menghalalkan membuatnya.

Dari "Kun Faya Kunn" oleh Ibnu Qayyim cetakan asli 1Sep 2008

June 3, 2013

Ilmu adalah Takut Kepada Allah


 “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” (Fathir: 28) 

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna penetapan (itsbat).(Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhaanahu wata’aala,  serta mengerti tentang hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ini pula ilmu yang jika kita mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara seorang mukmin dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulloh menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah subhaanahu wata’aala),  Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t, hlm. 73)
Syaikhul Islam t berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul. Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)

Tafsir Ayat
Ayat Allah subhaanahu wata’aala,   yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah l adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah subhaanahu wata’aala,  bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah subhaanahu wata'aala.”
Beliau rahimahulloh juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah subhaanahu wata’aala,  tidak memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  kecuali dia seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   maka dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagaimana ayat yang lain juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah rahimahulloh, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad shallallohu 'alaihi wasallam tentang firman Allah subhaanahu wata’aala,
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (an-Nisa: 17)

Mereka (para sahabat Nabi ) berkata kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di rahimahulloh berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala, menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dengan sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan) tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata menjelaskan ayat ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim. Sungguh, Allah l telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (az-Zumar: 9)
Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut dan berharap kepada Allah l adalah para ulama yang dipuji oleh Allah rahimahulloh.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam,7/21)

Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba kepada Allah subhaanahu wata’aala,   Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala.  Oleh karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah radiallohu anha yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah subhaanahu wata’aala,  telah mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” Rasulullah shallallohu alaihi wasallam marah mendengar hal itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah beliau shallallohu alaihi wasallam, lalu bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  adalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dengan lafadz,
“Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dan yang paling berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dari hadits Ummu Salamah radiallohu anha,
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, menggandengkan rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata'aala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahulloh berkata, “Telah dimaklumi bahwa para nabi shallallohu alaihi wasallam, dan para sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  dan paling mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang menjadi hak Allah subhaanahu wata’aala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  dan yang paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.”(Adhwaul Bayan, 2/325)

Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah subhaanahu wata’aala,  dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wata’aala.
5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.

Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata'aala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam kehidupannya-dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya-, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik t berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga: (1) seorang yang berilmu tentang Allah l dan tentang perintah Allah l, (2) seorang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun tidak berilmu tentang perintah Allah l, dan (3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala.
Yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata'aala, dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun tidak berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,  dia adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.