SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

June 30, 2012

Akibat Meremehkan Sunnah Dan Sikap Salaf Terhadapnya


‏Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata:

عن سلمة بن الأكوع رضي الله عنه أنَّ رجلاً أكل عند رسول الله صلى الله عليه وسلم بشماله، فقال: «كل بيمينك»، قال: لا أستطيع. قال: «لا استطعت؟ ما منعه إلاَّ الكبر» قال: ما رفعها إلى فيه([25])
“Ada seorang laki-laki yang makan di samping Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Maka Rasulullah bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Dia menjawab: ’ Aku tak bisa.’ Beliau bersabda: ” Semoga kamu tak bisa”  Tidak ada yang menghalanginya makan dengan tangan kanan kecuali karena sombong. Perawi berkata: Dia (orang itu) tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)
Hadits di atas adalah salah satu contoh hukuman dan balasan yang disegerakan bagi orang-orang yang enggan mengamalkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena kesombongan dan sikap meremehkan.
Hukuman di Dunia Bagi Yang Tidak Mengagungkan Sunnah Nabi
Ada beberapa kisah yang menunjukkan dipercepatnya hukuman di dunia bagi orang-orang yang tidak mengagungkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يُشرب من فِيّ السقاء
Bahwasanya Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut teko (kendi).” (HR. al-Bukhari).
Di dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullah dan Imam al-Hakim ditambahkan:
قال أيوب: فأُنبِئت أنَّ رجلاً شرب من فِيّ السقاء فخرجت حيَّة
Ayyub rahimahullah berkata: Aku diberi kabar bahwa ada seorang laki-laki yang minum dari mulut teko, lalu keluarlah ular (dari mulut teko tersebut).” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dan beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim hanya saja keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mencantumkannya dalam kitab mereka)
Faidah:
Kebanyakan ulama menyatakan bahwa larangan minum dari mulut (bibir) teko menunjukkan makruh, dikarenakan Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam as-Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibnu Majah dan yang lainnya. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa larang tersebut menunjukkan keharaman, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm dan yang lainnya.
Mereka menyebutkan beberapa alasan di balik larangan tersebut, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Bari, yaitu:
  1. Membuat air dalam teko menjadi bau, dan hal ini jika seseorang meminumnya dengan menempelkan mulutnya ke mulut/bibir teko, adapun jika tidak menempelkan maka hal ini tidak terjadi.
  2. Bahwasanya yang minum air dari mulut teko, maka air yang masuk ke kekerongkongannya lebih banyak dari apa yang ia butuhkan, dan mungkin saja bajunya akan basah karenanya.
  3. Mungkin saja di dalam teko tersebut ada binatang yang ikut masuk ke mulutnya dan dapat membahayakannya, terlebih lagi jika teko tersebut berwarna gelap .
  4. Air yang masuk dengan cara minum seperti itu membuat air mengalir dengan deras dan dikhawatirkan bisa memutuskan urat-urat yang tipis yang ada di tenggorokan.
Dari Abdurrahman bin Harmalah berkata: Datang seorang laki-laki kepada Sa’id bin al-Musayyibrahimahullah untuk berpamitan karena ia akan haji atau umrah. Lalu Sa’id berkata kepada orang tersebut, ”Tetaplah di sini (janganlah berangkat dahulu) sebelum engkau shalat, karena sesungguhnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«لا يخرج بعد النداء من المسجد إلا منافق، إلا رجل أخرجته حاجة وهو يُريد الرجعة إلى المسجد».
“Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik, kecuali seseorang yang memiliki hajat (keperluan) dan ingin kembali lagi ke masjid.”
Lalu orang itu berkata lagi, ”Sesungguhnya teman-temanku ada di Harrah (nama tempat).”  Kemudian orang itu pun keluar. Maka Sa’id pun terus menerus mengingatkan orang itu, sampai akhirnya beliau dikabarkan bahwa orang tersebut terjatuh dari binatang tunggangannya (kendaraannya), sehingga pahanya patah.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi no. 454)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il at-Taimi berkata dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslim, ” Aku membaca sebagian hikayat (kisah) bahwa sebagian ahli Bid’ah ketika mendengar sabda Nabi :shallallahu ‘alaihi wasallam,
«إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها، فإنه لا يدري أين باتت يده»
“Bila salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana, sebelum ia mencucinya, karena ia tidak tahu di mana posisi tangannya ketika ia tidur.” [Muttafaq 'alaih, al-Bukhari 162, dan Muslim 278]
Ahli Bid’ah tersebut berkata dengan nada memperolok-olok,  ”Aku tahu di mana posisi tanganku ketika tidur, ia (tanganku) berada di ranjang!” Maka keesokan harinya (ketika ia bangun tidur) ternyata ia telah memasukkan tangannya hingga siku ke dalam duburnya.
At-Taimi rahimahullah berkata, ”Maka hendaknya seseorang takut dari meremehkan Sunnah Nabi, momen-momen yang Tauqifi (yang seharusnya seeorang diam dan tidak membantahnya dengan akal), maka lihatlah bagaimana ia sampai pada kemalangan perbuatannya.” (Bustanul ‘Arifin, karya Imam an-Nawawi hal: 94 )
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«بينما رجل يتبختر في بردين خسف الله به الأرض، فهو يتجلجل فيها إلى يوم القيامة».
“Ketika seseorang berjalan dengan sombong memakai pakaian indah maka Allah menenggelamkannya ke dalam bumi, dan ia berada di dalamnya sampai hari Kiamat.
Lalu ada seorang laki-laki yang berkata (dengan nada mengolok-olok), ” Apakah seperti ini cara berjalannya pemuda yang ditenggelamkan ke dalam bumi itu?” Kemudian Abu Hurairah memukulnya dan ia pun terpeleset dan hampir tulangnya patah karenanya.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
{ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَطْرُقَ النِّسَاءَ لَيْلًا فَطَرَقَ رَجُلَانِ كِلَاهُمَا فَوَجَدَ – يُرِيدُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ امْرَأَتِهِ مَا يَكْرَهُ }
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang untuk mendatangi isterinya (pulang setelah safar/bepergian dalam waktu yang lama) pada malam hari. Kemudian ada dua orang laki-laki yang mendatangi isterinya (pulang dari safar) pada malam hari, maka keduanya mendapati sesuatu yang dibenci dari isteri mereka berdua (maksudnya ada laki-laki lain bersama masing-masing wanita tersebut).” (Dinukil dari Subulus Salam Syarh Bulughul Maram)
Dan masih banyak lagi kisah-kisah yang menunjukkan hukuman yang disegerakan bagi orang-orang yang meremehkan dan tidak mengagungkan Sunnah/ajaran Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sudah seharusnya kita berlomba-lomba dalam mengamalkan dan mengagungkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak meremehkanya, sekalipun kita belum mampu mengamalkannya. Dan hendaklah orang-orang yang meremehkan dan menertawakan orang-orang yang berusaha mengamalkan dan menghidupkan Sunnah, -seperti menertawakan orang yang memanjangkan jenggot, orang yang bercadar, bercelana ngatung, rajin shalat berjama’ah dan Sunnah-Sunnah yang lainnya- untuk takut dan berhenti dari perbuatannya, sebelum ia mendapatkan hukuman di dunia sebelum di Ahirat.
Sikap Para Salaf Terhadap Orang-Orang Yang Melecehkan dan Tidak Mengagungkan Sunnah Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam
Para Salaf adalah orang-orang yang paling besar tingkat pengagungan mereka terhadap Sunnah (hadits) Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka sangat keras dan tegas dalam menyikapi orang-orang yang meremehkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun orang tersebut adalah kerabat ataupun shahabatnya. Di antaranya adalah kisah berikut:
Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:” Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا ». قَالَ فَقَالَ بِلاَلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. قَالَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ.
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid jika mereka minta izin pada kalian untuk itu.”
Maka Bilal bin Abdillah rahimahullah (anak Ibnu ‘Umar) berkata, “Demi Allah sungguh kami akan melarang mereka.” Maka Abdullah menghadap ke arahnya lalu mencacimakinya dengan cercaan yang jelek, yang belum pernah aku dengar sama sekali cercaan seperti itu. Dan beliau berkata, “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun engkau malah berkata ‘Demi Allah sungguh kami akan melarang mereka.!’” (HR. Muslim)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhhuma berkata,
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء! أقول لكم قال الله وقال رسوله، وتقولون قال أبو بكر وعمر!
“Hampir saja akan terjadi hujan batu dari langit. Kusampaikan kepada kalian perkataan Allah dan rasulNya namun kalian bantah dengan mengajukan perkataan Abu Bakar dan Umar”(Atsar ini dinukil dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiah)
(Sumber: Ta’zhimus Sunnah dengan sedikit tambahan, dari http://www.saaid.net/mohamed/292.htm. Diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono dalam Alsofwah)
Publish ulang oleh KisahMuslim.com

51 Keutamaan Dzikir


(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.
(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4)  Dzikir membuat hati menjadi gembira dan lapang.
(5)  Dzikir menguatkan hati dan badan.
(6)  Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.
(7)  Dzikir mudah mendatangkan rizki.
(8)  Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(9)  Dzikir akan mendatangkan cinta Ar Rahman yang merupakan ruh Islam.
(10) Dzikir akan mendekatkan diri seseorang pada Allah sehingga memasukkannya pada golongan orang yang berbuat ihsan yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihatnya.
(11)  Dzikir akan mendatangkan inabah, yaitu kembali pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin seseorang kembali pada Allah dengan banyak berdzikir pada-Nya, maka hatinya pun akan kembali pada Allah dalam setiap keadaan.
(12)  Dengan berdzikir, seseorang akan semakin dekat  pada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin ia lalai dari dzikir, ia pun akan semakin jauh dari-Nya.
(13) Dzikir akan semakin menambah ma’rifah (pengenalan pada Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah ma’rifah seseorang pada Allah.
(14) Dzikir mendatangkan rasa takut pada Rabb ‘azza wa jalla dan semakin menundukkan diri pada-Nya. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan semakin terhalangi dari rasa takut pada Allah.
(15)  Dzikir akan mudah meraih apa yang Allah sebut dalam ayat,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.” (QS. Al Baqarah: 152). Ibnul Qayyim mengatakan,  “Seandainya tidak ada keutamaan dzikir selain yang disebutkan dalam ayat ini, maka sudahlah cukup keutamaan yang disebut.”
(16) Dengan dzikir, hati akan semakin hidup. Ibnul Qayyim pernah mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الذكر للقلب مثل الماء للسمك فكيف يكون حال السمك إذا فارق الماء ؟
Dzikir pada hati semisal air yang dibutuhkan ikan. Lihatlah apa yang terjadi jika ikan tersebut lepas dari air?”
(17) Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan dzikir maka keadaannya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.
(18) Dzikir menjadikan hati semakin kilap yang sebelumnya berkarat. Karatnya hati disebabkan lalai dari dzikir pada Allah. Sedangkan kilapnya hati adalah dengan dzikir, taubat dan istighfar.
(19) Dzikir akan menghapus dosa karena dzikir adalah kebaikan terbesar dan kebaikan akan menghapus kejelekan.
(20) Dzikir pada Allah dapat menghilangkan kerisauan.
(21) Ketika seorang hamba rajin mengingat Allah (berdzikir), maka Allah akan mengingat dirinya di saat ia memerlukan.
(22) Jika seseorang mengenal Allah -dengan dzikir- dalam  keadaan lapang, Allah akan mengenalnya dalam keadaan sempit.
(23) Dzikir akan menyelematkan seseorang dari adzab neraka.
(24) Dzikir menyebabkan turunnya sakinah (ketenangan), naungan rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat.
(25) Dzikir menyebabkan lisan semakin sibuk sehingga terhindar dari ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dusta, perbuatan keji dan batil.
(26) Majelis dzikir adalah majelis para malaikat dan majelis orang yang lalai dari dzikir adalah majelis setan.
(27) Orang yang berzikir begitu bahagia, begitu pula ia akan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
(28) Dzikir akan memberikan rasa aman bagi seorang hamba dari kerugian di hari kiamat.
(29) Karena tangisan orang yang berdzikir, Allah akan memberikan naungan ‘Arsy padanya di hari kiamat yang amat panas.
(30) Sibuknya seseorang pada dzikir adalah sebab Allah memberi untuknya lebih dari yang diberikan pada peminta-minta.
(31) Dzikir adalah ibadah yang paling ringan, namun ibadah tersebut amat mulia.
(32) Dzikir adalah tanaman surga.
(33) Pemberian dan keutamaan yang diberikan pada orang yang berdzikir tidak diberikan pada amalan lainnya.
(34) Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19)
(35) Dzikir adalah cahaya bagi pemiliknya di dunia, kubur, dan hari berbangkit.
(36) Dzikir adalah ro’sul umuur (inti segala perkara). Siapa yang dibukakan kemudahan dzikir, maka ia akan memperoleh berbagai kebaikan. Siapa yang luput dari pintu ini, maka luputlah ia dari berbagai kebaikan.
(37) Dzikir akan memperingatkan hati yang tertidur lelap (yang lalai). Hati bisa jadi sadar dengan dzikir.
(38) Orang yang berdzikir akan semakin dekat dengan Allah dan bersama dengan-Nya. Kebersamaan di sini adalah dengan kebersamaan yang khusus, bukan hanya sekedar Allah itu bersama dalam arti mengetahui atau meliputi hamba-Nya. Namun kebersamaan ini menjadikan lebih dekat, mendapatkan perwalian, cinta, pertolongan dan taufik Allah. Kebersamaan yang dimaksudkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128)
وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah: 40)
(39) Dzikir dapat menyamai seseorang yang memerdekakan budak, menafkahkan harta, juga dapat menyamai seseorang yang menunggang kuda dan berperang dengan pedang (dalam rangka berjihad) di jalan Allah.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ
Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku, wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syain qodiir dalam sehari sebanyak 100 kali, maka itu seperti memerdekakan 10 budak.[1]
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sungguh aku banyak bertasbih pada Allah Ta’ala (mengucapkan subhanallah) lebih aku sukai dari beberapa dinar yang aku infakkan fii sabilillah (di jalan Allah).”
(40) Dzikir adalah inti dari bersyukur. Tidaklah dikatakan bersyukur pada Allah Ta’ala orang yang enggan berdzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Mu’adz,
« يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Demi Allah, aku mencintaimu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menasehatkan kepadamu –wahai Mu’adz-, janganlah engkau tinggalkan di setiap akhir shalat bacaan ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir dan bersyukur serta beribadah yang baik pada-Mu).[2] Dalam hadits ini digabungkan antara dzikir dan syukur. Begitu pula Allah Ta’ala menggabungkan antara keduanya dalam firman Allah Ta’ala,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152). Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan dzikir dan syukur merupakan jalan untuk meraih bahagia dan keberuntungan.
(41) Makhluk yang paling mulia adalah yang bertakwa yang lisannya selalu basah dengan dzikir pada Allah. Orang seperti inilah yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia pun menjadikan dzikir sebagai syi’arnya.
(42) Hati itu ada yang keras. Kerasnya hati dapat dilebut dengan berdzikir pada Allah. Oleh karena itu, siapa yang ingin sembuh dari hati yang keras, maka perbanyaklah dzikir pada Allah.
Ada yang berkata kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan padamu akan kerasnya hatiku.” Al Hasan berkata, “Lembutkanlah dengan dzikir pada Allah.”
Ketika hati semakin lalai, semakin keras hati tersebut. Jika seseorang berdzikir pada Allah, lelehlah kekerasan hati sebagaimana timah itu dapat meleleh dengan api. Kerasnya hati akan meleleh semisal itu, yaitu dengan dzikir pada Allah.
(43) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati.
Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
(44) Tidak ada sesuatu yang membuat seseorang mudah meraih nikmat Allah dan selamat dari murka-Nya selain dzikir pada Allah. Jadi dzikir adalah sebab datangnya nikmat dan tertolaknya murka Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Dzikir adalah inti syukur sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan syukur akan mendatangkan nikmat dan semakin bersyukur akan membuat nikmat semakin bertambah.
(45) Dzikir menyebabkan datangnya shalawat Allah dan dari malaikat bagi orang yang berdzikir. Dan siapa saja yang mendapat shalawat (pujian) Allah dan malaikat, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (41) وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (42) هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا (43)
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 41-43)
(46) Dzikir kepada Allah adalah pertolongan besar agar seseorang mudah melakukan ketaatan. Karena Allah-lah yang menjadikan hamba mencintai amalan taat tersebut, Dia-lah yang memudahkannya dan menjadikan terasa nikmat melakukannya. Begitu pula Allah yang menjadikan amalan tersebut sebagai penyejuk mata, terasa nikmat dan ada rasa gembira. Orang yang rajin berdzikir tidak akan mendapati kesulitan dan rasa berat ketika melakukan amalan taat tersebut, berbeda halnya dengan orang yang lalai dari dzikir. Demikianlah banyak bukti yang menjadi saksi akan hal ini.
(47) Dzikir pada Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah, suatu yang terasa jadi beban berat akan menjadi ringan, kesulitan pun akan mendapatkan jalan keluar. Dzikir pada Allah benar-benar mendatangkan kelapangan setelah sebelumnya tertimpa kesulitan.
(48) Dzikir pada Allah akan menghilangkan rasa takut yang ada pada jiwa dan ketenangan akan mudah diraih. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan selalu merasa takut dan tidak pernah merasakan rasa aman.
(49) Dzikir akan memberikan seseorang kekuatan sampai-sampai ia bisa melakukan hal yang menakjubkan. Contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang sangat menakjubkan dalam perkataan, tulisannya, dan kekuatannya. Tulisan Ibnu Taimiyah yang ia susun sehari sama halnya dengan seseorang yang menulis dengan menyalin tulisan selama seminggu atau lebih. Begitu pula di medan peperangan, beliau terkenal sangat kuat. Inilah suatu hal yang menakjubkan dari orang yang rajin berdzikir.
(50) Orang yang senantiasa berdzikir di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, semisal gunung dan tanah, akan menjadi saksi baginya di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)
(51) Jika seseorang menyibukkan diri dengan dzikir, maka ia akan terlalaikan dari perkataan yang batil seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), perkataan sia-sia, memuji-muji manusia (secara berlebihan), dan mencela manusia. Karena lisan sama sekali tidak dapat diam. Lisan boleh jadi adalah lisan yang rajin berdzikir dan boleh jadi adalah lisan yang lalai. Keadaan lisan adalah salah satu di antara dua kondisi tersebut. Ingatlah bahwa jiwa jika tidak tersibukkan dengan kebenaran, maka pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.[3]

[1]HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691
[2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, 94-198.