SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

November 28, 2012

Kisah Tabi'in Thawus bin Kaisan Penasihat yang Lurus

Sesaat setelah khalifah muslimin Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan menurunkan barang-barangnya di dekat Baitul Atiq, lalu melepas kerinduannya kepada Ka’bah, beliau menoleh kepada pengawalnya dan berkata, “Carilah seorang alim yang dapat memberikan peringatan kepada kita di hari mulia di antara hari-hari Allah ini.”

Pengawal itu berangkat menemui orang-orang yang tengah berhaji dan bertanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh khalifah. Orang-orang berkata, “Di sini ada Thawus bin Kaisan, tokoh ulama ahli fiqh yang paling jujur perkataannya dalam dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu temuilah dia.”

Pengawal itu menghampiri Thawus dan berkata, “Ikutlah dengan  kami, Amirul Mukminin mengundang Anda wahai syaikh!”
Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguasa yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesampainya di depan Amirul Mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya, lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.

Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai Thawus.”
Thawus, menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi sumur jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah Anda untuk siapakah sumur itu disediakan, wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapa itu?” Thawus bin Kaisan menjawab, “Untuk orang-orang yang Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelewengkannya.”
Tiba-tiba saja tubuh Khalifah Sulaiman gemetaran sampai aku menduga ruhnya akan terbang dari jasadnya. Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian Thawus meninggalkan majlis dan pulang sedangkan khalifah mendoakan agar Thawus mendapat balasan yang lebih dari Allah.
Tatkala khalifah berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, Thawus menerima surat dari Amirul Mukminin yang isinya, “Berilah aku nasihat, wahai Abu Abdirrahman!” Thawus bin Kaisan menjawab surat tersebut dengan sebaris kalimat singkat, “Bila Anda menghendaki seluruh amal Anda baik, maka angkatlah para pengawal dari orang-orang yang baik pula, wassalam.”
Demi membaca surat jawaban tersebut khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Cukuplah ini sebagai peringatan… cukuplah ini sebagai peringatan…”
Begitu pula ketika khilafah beralih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dengan Thawus bin Kaisan.

Sebagai contoh adalah peristiwa ketika Hisyam datang untuk menunaikan haji. Begitu memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada pemuka Mekah: “Carikan aku seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka berkata, “Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat satu demi satu hingga tak satupun tersisa.” Hisyam berkata, “Jika demikian, carikan di antara ulama tabi’in!” Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin” dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.

Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia menahan dirinya lalu berkata,
Hisyam: “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memang apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah atau gusar. Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membai’at Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda dengan amirul mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka, “Wahai Daud, Wahai Yahya, Wahai Musa, Wahai Isa.” Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).
Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius.
Hisyam: “Wahai Abu Badurrahman, berilah saya nasihat!”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka mengigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.
Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.
Putranya bercerita, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari arah kiri.
Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda.’ Dia berkata, “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi…
Sesampainya di rumah, ayah berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”
Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapasaja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.
Sebagai contoh adalah kisah yang diriwayatkan oleh Atha bin Abi Rabah sebagai berikut:
Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha’, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penjaga-penjaga di rumahnya?” Mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menetapi janjinya.”
Thawus bin Kaisan pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”
Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung. Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” Beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa AllahSubhanahu wa Ta’ala yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”
Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Ja’far hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”
Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikit pun ketajaman ingatan, kejeniusan pikiran dan kecepatan daya tangkapnya.
Abdullah Asyami bercerita, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”
Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”
Akupun masuk, memberi salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata, “Akan aku ringkas sedapat mungkin, InsyaAllah. Apakah engkau ingin aku menceritkan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran?”
Aku berakta, “Benar.” Beliau berkata, “Takutlah kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”
Malam 10 Dzulhijah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.
Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat maghrib dan Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.
Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahal Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yang hendak mengantarkan jenazahnya. Bahkan amir Mekah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

November 27, 2012

Jika ingin baik di mata Allah rajinlah tafaqquh fiddin!

Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda RasulillahShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Kepada kaum muslimin kami berpesan, supaya bertakwa kepada Allah setiap saat. Istiqamah dalam mengamalkan ajaran Islam. Hendaknya takut kepada Allah dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya di mana saja berada. Lalu melakukan introspeksi diri, sehingga tidak meninggalkan apa yang telah Allah wajibkan dan tidak menerjang apa yang telah Dia larang atas kalian.
Kami juga berwasiat agar terus bertafaqquh fiddin (mengkaji Islam), mempelajari kaidah-kaidah dasar Islam dan mengetahui masalah halal dan haram. Karena di sanalah letak kebaikan umat Islam. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Siapa yang kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan jadikan orang itu fakih terhadap dien." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'Anhu)
Yufaqqihu, maknanya: menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman terhadap urusan Islam (hukum-hukum syar'i). Faham di sini adalah faham yang membuahkan amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka, sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih, "Al-Qur'an itu menjadi pembelamu atau yang memberatkanmu."
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tegas mencela orang yang memahami kebenaran dan telah menyampaikannya kepada yang lain, namun ia sendiri tidak mengamalkannya. Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ  كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
 "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. Al-Shaff: 2-3)
Saat menjelaskan hadits di atas, banyak ulama menyebutkan juga hadits lain, dari Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang turun ke tanah. Di antaranya  ada tanah yang subur yang menyerap air sehingga menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Ada juga tanah tandus yang menahan air sehingga orang-orang bisa memanfaatkannya; mereka minum darinya, memberi minum ternaknya, dan mengairi tanaman. Ada juga tanah yang keras; tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mengambil manfaat apa yang dengannya Allah mengutusku, sehingga ia belajar dan mengajarkannya. Dari sisi lain ada orang yang tidak mau mengambil manfaat darinya, serta orang yang sama sekali tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus." (Muttafaq 'Alaih)

Dalam kitab Miftah Daar al-Sa'adah (1/60-61), milik Ibnul Qayyim menjelaskan, manusia dilihat dari sisi kesiapan dan kesediaannya menerima risalah (ajaran) yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam tiga bagian; Pertama, ada orang yang menghafal, memahami maksudnya, dan mampu menyimpulkan hukum, hikmah dan faedah-faedahnya. Mereka inilah yang diumpamakan sebagai tanah yang bisa menerima air. Hafalan itu seperti tanah yang menumbuhkan tanaman yang sangat banyak. Sedangkan pemahaman, ma'rifah, istimbath adalah seperti penumbuhan tanaman dengan air. Inilah perumpamaan para huffaz, fuqaha', dan ahlul hadits.

Kedua, orang yang diberi hafalan dan ucapan, lalu mencatatnya, tetapi mereka tidak diberi pemahaman makna dan kemampuan menyimpulkan hukum, mengungkap hikmah dan faidahnya. Mereka itu seperti orang yang membaca dan menghafalkan Al-Qur'an, juga memperhatikan huruf dan i'rabnya, tetapi mereka tidak diberi pemahaman khusus dari Allah.
Manusia memiliki pemahaman yang sangat beragam. Cukup banyak yang hanya mampu memahami satu atau dua hukum, dan ada juga yang sanggup memahami seratus atau dua ratus hukum. Mereka itu seperti tanah yang menahan air air untuk kepentingan orang banyak, untuk minum, memberi minum ternak, dan menyiram tanaman.

Kedua macam manusia di atas termasuk orang-orang yang bahagia. Macam pertama, derajatnya lebih tinggi dan terhotmat, "Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Jumu'ah: 4)
Ketiga, manusia yang tidak mendapatkan bagian; baik berupa hafalan, pemahaman, riwayah, maupun dirayah. Jika diumpamakan mereka ini laksana tanah tandus yang tidak bisa menumbuhkan tumbuhan dan tidak pula menyimpan air. Mereka itu orang-orang celaka.

Macam dua pertama, orang-orang yang sama-sama belajar dan mengajar, masing-masing sesuai dengan apa yang dimilikinya. Satu bagian mengetahui laafaz-lafaz Al-Qur'an dan menghafalnya. Satunya lagi, memiliki pengetahuan tentang makna, hukum, dan ilmu-ilmunya.
Adapun golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak pula bergelut dalam dunia pengajaran. Mereka itulah yang tidak mau menyambut dan menerima petunjuk Allah. mereka itu lebuh buruk dari binatang ternak dan akan menjadi bahan bakar neraka.
. . . siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. .  .
Hadits di atas mencakup  penjelasan tentang kemuliaan ilmu agama dan mengajarkannya sertakeagungan statusnya. Juga mencakup kesengsaraan orang-orang yang tidak memilikinya. NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan beberapa macam manusia ditinjau dari sisi ilmu tersebut, bahwasanya di antara mereka ada yang memperoleh kebahagiaan dan ada pula yang celaka dan sengsara. (disarikan secara ringkas)
Sebaliknya, siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata, "Mafhum hadits bahwa orang yang tidak bertafakkuh fiddin, yakni tidak belajar kaidah-kaidah Islam dan cabang-cabangnya, maka sungguh ia diharamkan kebaikan. Abu Ya'la mengeluarkan hadits Mu'awiyah dari jalur lain yang dhaif, ditambahkan di ujungnya,  "Siapa yang tidak dijadikan paham terhadap dien, maka Allah tidak peduli kepadanya." Makna hadits ini adalah shahih, karena siapa yang tidak mengetahui perkara-perkara (ajaran) agamanya, maka ia bukan seorang fakih dan tidak pula mencari pengetahuan, sehingga pantas ia disifati bahwa ia tidak dikehendaki mendapatkan kebaikan." Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

November 24, 2012

Ingat! berlalu satu hari, berlalu pula sebagian dari hidup mu!

Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam terlimpah kepada Rasulullah ­-Shallallahu 'Alaihi Wasallam-keluarga dan para sahabatnya.
Waktu adalah kehidupan. Umur manusia terdiri dari kumpulan hari. Jika berlalu satu hari berarti telah berlalu pula bagian dari umurnya. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
يَا ابْنَ آدَمَ, إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ, إِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, apabila berlalu satu hari maka berlalu pula bagian darimu." (Al Hilyah: 2/148 dan dalam Siyar A'lam Nubala: 4/585).
Al-Hasan juga pernah berkata, "Tidaklah ada satu hari dari hari-hari dunia kecuali ia berbicara dan berkata: Wahai manusia, sesungguhnya aku ini hari baru. Aku menjadi saksi atas apa yang engkau kerjakann padaku. Sesungguhnya jika matahariku telah terbenam, maka aku tidak akan kembali lagi kepadamu sampai hari kiamat." (dikeluarkan Imam Ahmad)
Ibnu Mas'ud radliyallah 'anhu berkata, "Sesuatu yang aku sesali adalah jika dari pagi hari sampai matahari tenggelam amalku tidak bertambah sedikitpun padahal aku tahu saat itu umurku berkurang."
Hari terdiri dari jam dan menit. Setiap orang haruslah memikirkan, untuk apa waktunya dihabiskan?
Islam sangat memperhatikan perputaran waktu dan pergantian hari, khususnya untuk beramal shalih. Islam sangat menganjurkan untuk memanfaatkan waktu dan tidak menyia-nyiakannya. Di akhirat manusia akan ditanya tentangnya. Dari Abu Barzah al-AslamiRadhiyallahu 'Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya empat perkara: tentang umurnya dihabiskan untuk apa, usia mudanya digunakan untuk apa, hartanya darimana didapatkan dan kemana ia peruntukkan, dan tentang ilmunya apa yang sudah ia amalkan." (HR. Al-Tirmidzi)
Islam telah mengatur waktu seorang muslim. Kapan ia tidur dan bangun, mengerjakan syi'ar-syi'ar Islam, pergi ke tempat kerja, dan sebagainya. Terlebih dari itu, Islam mengarahkan agar ia menjadikan semua itu sebagai ibadah kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ia tidak melanggar batasan-batasan Allah dan menerjang larangan-Nya. Ia senantiasa mengisinya dengan kebaikan-kebaikan dan mengirinya dengan dzikrullah (mengingat Allah) Subhanahu wa Ta'ala.
Memperhatikan waktu berarti tidak menyia-nyiakan kesempatan beramal, saat ia datang. Karena menunda-nunda kebaikan yang sudah ada di depan mata akan menyebabkan penyesalan di kemudian hari.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
 وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"." (QS. Al-Munafikun: 10)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Setiap yang menyia-nyiakan kesempatan beramal shalih akan menyesal ketika datang kematian. Ia meminta dipanjangkan waktu walau sebentar untuk bertaubat dan mendapatkan kembali apa yang telah luput darinya. Tidak mungkin bisa, yang lalu telah berlalu, telah datang apa yang harus datang. Dan setiap orang menyesal sesuai dengan penyia-nyiannya."
Diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dari Ibnu Abbas rahimahullah, "barangsiapa yang memiliki harta yang sudah bisa menyampaikannya untuk berhaji ke Baitullah atau mewajibkannya zakat, tapi tidak melaksanakannya, ia akan minta raj'ah (dikembalikan lagi ke dunia) ketika sudah mati." Ada seorang berkata, "wahai Ibnu Abbas bertakwalah kepada Allah! sesungguhnya yang minta dikembalikan lagi ke dunia adalah orang kafir." Ibnu Abbas berkata, "aku akan bacakan kepadamu ayat Al Qur'an tentang hal itu." Kemudian beliau membaca ayat di atas.
. . . Hari terdiri dari jam dan menit. Setiap orang haruslah memikirkan, untuk apa waktunya dihabiskan? . . .
Penutup
Baru saja kita berpisah dengan Tahun 1433 Hijriyah. Bahkan sekarang sudah berlalu beberapa hari dari tahun yang baru, 1434 Hijriyah. Semua hari-hari pada tahun yang telah lalu sudah ada catatannya dan kelak kita akan ditanya tentangnya. Sedangkan hari-hari yang akan datang -dari tahun yang baru- kita tidak tahu apakah bisa melampuinya. Maka manfaatkan hari yang kita ada padanya. Jangan disia-siakan. Karena kepergiannya tidak akan pernah kembali. Sementara catatan amal pada hari tersebut tersimpan baik dalam catatan yang tak akan lapuk.
Rabi'ah pernah berkata kepada Sufyan, "Sesungguhnya kamu adalah kumpulan dari beberapa hari. Maka jika berlalu satu harimu berarti telah berlalu sebagian dari dirimu. Aku merasa, jika berlalu sabagiannya maka akan pergi pula keseluruhannya. Maka kapan saja engkau mengetahui (hakikat) ini maka beramalah."   
Sekali lagi, jangan sia-siakan waktu dengan berleha-leha karena kaki kita belumlah menapak di surga. Setiap detik yang berlalu dari kehidupan kita akan dilakukan perhitungan terhadapnya di sisi Allah.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) Arasy yang mulia." (QS. Al Mukminun: 115-116) [PurWD/voa-islam.com]

November 23, 2012

Puasa Sunnah dalam Setahun

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan di lipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lihat Al furqon baina awliyair rahman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H.
Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Di bawah ini ada pembahasan puasa sunnah yang dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal denganayyamul biid. Hari ini disebut dengan ayyamul biid (hari putih) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
Puasa Daud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.” Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H

Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada kebanyakan harinya (bukan seluruh harinya) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh .
 Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.  Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,  “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”           Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabishallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.  Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/35
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.” Al Minhaj Shahih Muslim 7/115.
Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih. [Muhammad Abduh Tuasikal]