SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

October 31, 2012

Bagaimana jawabanmu terhadap seruan pada Rasul?

Firman Allah Ta’ala :

Dan (ingatlah) hari  (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata :  “ Bagaimana jawabanmu terhadap seruan para Rasul?”
(QS al Qashash: 65)


Ayat ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya  kita beribadah kepada Allah Ta’ala ?  Apakah kita mentauhidkan Allah Ta’ala dalam beribadah ?  Apakah kita mengikhlaskan setiap amal ibadah karenaNya ?  Hal ini merupakan perkara besar yang akan ditanyakan oleh Allah kepada seluruh hambaNya.

 Adapun pertanyaan yang kedua, apakah kita ittiba’ (mengikuti/ meneladani) Rasulullah shallallahu alaihi wassalam ataukah tidak?  Hal inipun merupakan pertanyaan besar yang akan ditanyakan Allah Ta’ala kepada seluruh hambaNya pada Hari Kiamat. Oleh kerananya, wajib bagi kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Tetapi jika kita lihat amalan amalan yang di adakan sekarang ini,  majlis majlis zikir yang di anjurkan,  majlis majlis selawat yang beraneka rupa, perayaaan sambutan bulanan bulanan tertentu….maulid...dan banyak lagi yang tidak di contohi oleh beliau dan juga para sahabat dan imam besar..jadi..

Bagaimana jawabanmu terhadap seruan para Rasul? “   

Billahi Taifiq

October 28, 2012

Nasihat Rasulullah kepada Abdullah bin Amru

Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ ذَكَرَ الْفِتْنَةَ فَقَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ النَّاسَ قَدْ مَرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَخَفَّتْ أَمَانَاتُهُمْ وَكَانُوا هَكَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ قَالَ فَقُمْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ كَيْفَ أَفْعَلُ عِنْدَ ذَلِكَ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاكَ قَالَ الْزَمْ بَيْتَكَ وَامْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَخُذْ بِمَا تَعْرِفُ وَدَعْ مَا تُنْكِرُ وَعَلَيْكَ بِأَمْرِ خَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعْ عَنْكَ أَمْرَ الْعَامَّةِ
“Ketika kami berada disekitar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau menyebutkan fitnah, beliau bersabda, ‘Apabila kamu melihat manusia telah merusak janji mereka dan telah berkurang amanahnya, mereka seperti dan beliau menyilangkan jari jemarinya’. Abdullah berkata, Aku berdiri kepadanya dan berkata, “Bagaimana sikapku pada waktu itu? Allah jadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau menjawab, ‘Tinggallah di rumahmu, tahan lisanmu, ambil yang engkau ketahui dan tinggalkan yang engkau ingkari, dan hendaklah engkau jaga urusan dirimu secara khusus dan tinggalkanlah urusan orang-orang umum”. (HR Abu Dawud dan lainnnya).[1]

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad berkata menjelaskan, “(Tinggallah di rumahmu) artinya jauhilah fitnah.

(Tahan lisanmu) artinya jangan berbicara dengan sesuatu yang tidak layak, dan jangan menjadi sebab terjadinya fitnah tidak dengan perkataan dan tidak pula dengan perbuatan.

(Ambil yang engkau ketahui dan tinggalkan yang engkau ingkari) artinya yang engkau ketahui kebenarannya ambillah dan yang engkau ketahui kemungkarannya tinggalkan dan jauhilah.

(Dan hendaklah engkau jaga urusan dirimu secara khusus) artinya bersungguh-sungguhlah menyelamatkan dirimu dan janganlah ikut binasa bersama orang-orang yang binasa sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: “Janganlah seseorang tertipu dengan banyaknya orang-orang yang berbuat keburukan dan jangan pula merasa sedih dengan sedikitnya orang-orang yang meniti jalan kebenaran.”

(Dan tinggalkanlah urusan orang-orang umum) artinya apabila amal kita tidak bermanfaat untuk mereka sedikit pun, namun jika bermanfaat dan manusia dapat mengambil manfaat dari nasihatmu, perintahmu kepada yang ma’ruf dan laranganmu dari yang munkar, maka janganlah engkau tinggalkan mereka”.[2]

Ini adalah nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Amru bin Al ‘Ashradhiallahu ‘anhuma dan nasihat ini amat kita rasakan manfaatnya terutama untuk kita yang hidup di akhir zaman ini ketika janji telah tidak ditepati dan telah hilang amanah dan amat sedikit orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.

[1] Syaikh Al Bani berkata, “Hadis hasan shahih”. Lihat shahih Targhib no.2744.
[2] Syarah Sunan Abu Dawud, 25:181-182

Slumber: www.cintasunnah

October 21, 2012

Ketika Hari Raya Bertetapan Dengan Hari Jumaat


Fatwa No. 2358
Pertanyaan: “Tahun ini terkumpul dua id, hari Jum’at dan hari raya Iduladha, manakah yang benar, apakah kita mengerjakan shalat Zuhur jika belum mengerjakan shalat Jumat atau shalat Zuhur jatuh jika belum shalat Jumat?”
Jawaban: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum’at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia”. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)
Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).
Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.
Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum’at dan shalat ‘Ied dengan Surat Al ‘Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat ‘Ied dan shalat Jum’at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat (‘Ied dan Jum’at)”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (no. 4365), pent)
Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat ‘Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum’at.
Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat.
Komite Tetap untuk pembahasan Ilmiah dan fatwa untuk Kerajaan Arab Saudi
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin BazWakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan
Diterjemahkan oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Jumat, 03 Dzulhijjah 1433H
Dammam, Arab Saudi.
Artikel: DakwahSunnah.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com


Mutiara Salaf

Dari Ibnu Abbas:-

"Di antara hamba-hamba-Nya yang mengetahui tentang Allah Yang Mahapemurah adalah orang yang tidak menyekutui-Nya, menghalalkan apa apa yang dihalalkan-Nya, mengharamkan apa apa yang di haramkan-Nya, memelihara wasiat-Nya dan menyakini tentang perjumpaan dengan-Nya dan bahwasanya amalnya akan dihitung."

Dari Al-Hassan al-Bashri :-

"Orang alim adalah orang yang takut pada ar-Rahman (Allah Yang Mahapemurah) dalam kesendirian, senang dengan apa yang disenangi oleh Allah dan zuhud terhadap apa yang di murkai  oleh Allah."  .." Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba hamba-Nya hanya lah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun."  (QS Faathir : 35:28)

Dari Ibnu Mas'ud :-

"Ilmu bukanlah dengan memperbanyak bicara, Akan tetapi ilmu adalah dengan memperbanyak rasa takut."

Dari Ibnu Wahb dari Malik:-

"Sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat. Sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang di jadikan Allah subhanahuwataala di dalam kalbu."

Dari Abu Hayyan at-Taimi, berkata seorang laki laki, " Para ulama itu ada tiga golongan;
1. Orang yang alim tentang Allah dan orang yang alim tentang perintah-Nya.
2. Orang yang alim tentang Allah, akan tetapi tidak alim tentang perintah-Nya.
3. Orang yang alim tentang perintah Allah akan tetapi tidak alim tentang-Nya.

Orang yang alim tentang Allah dan perintah-Nya adalah orang yang takut pada Allah Ta'ala serta mengetahui hukum hukum-Nya dan kewajiban-Nya.

Orang yang kedua, orang yang takut pada Allah tapi tidak tahu tentang hukum dan kewajiban-Nya.

Sedangkan orang yang ketiga adalah orang yang tahu tentang hukum dan kewajiban tapi tidak takut kepada Allah.

Tafsir Ibnu Katsir. QS 35:28

Puasa hari Tarwiyah

Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah
Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.
Alhamdulillah, pada hari ini 3 Agustus 1987 [seperti tertulis di dalam buku, admin] saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut.

مسألة صيام عاشوراء كفارة سنة ويوم عرفة كفارة سنتين

“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.
Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :
[1]. Abu Syaikh dari :
[2]. Ali bin Ali Al-Himyari dari :
[3]. Kalbiy dari :
[4]. Abi Shaalih dari :
[5]. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudhu’ (موضوع).
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.

Pertama: Kalbi (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil:
[1]. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
[2]. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
[3]. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni
[4]. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim
[5]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar

Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yangmajhul (tidak dikenal).

Kesimpulan:
[1]. Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnyabid’ah. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah haditspalsu/maudhu’ yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.
[2]. Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Kata ulama : Dosa-dosa yang dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil. Wallahu a’lam!
Disalin dari kitab Al-Masaa’il Jilid 2 (Masalah 48) hal. 176-178 , oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 4, Th. 1427H/2007M)

October 19, 2012

Larangan hanya berlaku pada shohibul Qurban mencukur rambut

Seperti kita ketahui bahwa ketika masuk 1 Dzulhijjah hingga hewan qurban disembelih, shohibul qurban dilarang mencukur rambut dan memotong kuku (lihat link di sini). Nah ini yang berlaku pada shohibul qurban. Lantas bagaimana untuk anggota keluarganya? Apalagi jika satu kambing di atas namakan satu keluarga itu boleh (sebagaimana keterangan pada link di sini), apakah mereka juga terkena larangan tersebut?
Jawabannya adalah larangan tersebut hanya berlaku pada shohibul udhiyah atau shohibul qurban, yaitu siapa pemilih hewan qurban tersebut.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -semoga Allah merahmati beliau- berkata, “Keluarga shohibul qurban tidak punya kewajiban apa-apa.  Keluarganya tidak dilarang dari mencukur rambut dan memotong kuku, demikian pendapat yang tepat dari pendapat yang ada. Larangan tadi hanya berlaku untuk orang yang berqurban secara khusus di mana ia adalah yang membeli qurban dengan hartanya.” (Fatawa Islamiyah, 2: 316).
Ulama Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menerangkan, “Disyari’atkan bagi orang yang hendak berqurban jika telah masuk 1 Dzulhijjah, hendaklah ia tidak memotong rambut kepala dan kukunya, juga rambut pada tubuhnya hingga ia berqurban. Karena diriwayatkan oleh Al Jama’ah kecuali Imam Bukhari rahimahumullah, dari Ummu Salamahradhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره
Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah (masuk tanggal 1 Dzulhijjah) dan kalian ingin berqurban, maka janganlah memotong rambut dan kuku”. Lafazh Abu Daud (2791) dan Muslim (1977),

من كان له ذبح يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذنَّ من شعره ومن أظفاره شيئاً حتى يضحي
Barangsiapa memiliki hewan sembelihan ketika telah masuk 1 Dzulhijjah, janganlah ia memotong rambut dan kukunya sedikit pun juga hingga ia berqurban.” Hal ini berlaku baik dia yang menyembelih sendiri atau mewakilkannya pada yang lain. Adapun keluarga yang di atasnamakan (diniatkan pahala), maka tidak berlaku larangan ini untuk mereka karena tidak ada dalil yang menegaskan larangan tersebut untuk mereka. “

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber: http://rumaysho.com

October 17, 2012

Shaikh Fowzaan advises the Muslim Ummah

At this present time (today), the Muslims are suffering from evil attacks from the overpowering enemy (forces) from all sides, from the war in Afghanistan, the war in Iraq, the war in Palestine, (and) the war in Lebanon. And that which we hear and read from our preachers (khateebs) and writers (journalists), all of it is condemnation of the actions of the enemies. And there is no doubt in (any of) these issues. However, are the disbelieving enemy affected by these raised voices? The disbelievers, from long ago, have wanted to wipe out Islaam from existence, as Allaah (Ta'aala) says:
{And they will never cease fighting you until they turn you back from your religion (Islaamic Monotheism) if they can}, [Soorah al-Baqarah, Aayah 217].
But the issue is, what have the Muslims prepared in response to them and in preventing their attacks?
Indeed it is obligatory upon them, firstly, to: Look at their current state in terms of their religion and their adherence to it, for indeed that which has afflicted them is as a result of negligence in (practising) their religion. And in a narration (it is said): ((If the one who knows Me is disobedient to Me, I will cause the one who does not know me to overpower him (in authority))). And what happened to the Banee Israa.eel (Israelites) when they left their religion and caused mischief on the Earth, Allaah caused them to be overpowered (in authority) by the disbelieving Magians (fire worshippers) and:
{they entered the very innermost parts of your homes} as Allaah has mentioned at the beginning of Soorah al-Israa., Aayah 005].
And Allaah threatened them, that if they were to return (back) to their ways, then He will punish them. So it is imperative that we assess our current affairs and rectify that which is corrupt from our affairs with regard to the religion, for (certainly) the Sunnah of Allaah does not change. And Allaah (Ta'aala) says:
{Verily, Allaah will not change the (good) condition of a people as long as they do not change their state (of goodness) themselves (by committing sins and by being ungrateful and disobedient to Allaah). But when Allaah wills a people's punishment, there can be no turning it back, and they will find besides Him no protector}, [Soorah ar-Ra'd, Aayah 11]
Secondly, it is (incumbent) upon us to prepare ourselves with that which we can confront our enemies with, as Allaah (Ta'aala) says:
{And make ready against them all you can of power, including steeds of war (tanks, planes, missiles, artillery) to threaten thereby the enemy of Allaah and your enemy, and others besides them, whom you may not know, (but) whom Allaah does know}, [Soorah al-Anfaal, Aayah 60].
And that is by putting together (preparing) armies and (acquiring) suitable weapons and (thereby attaining) defensive strength/power.
Thirdly, the unification of the Muslims upon the (firm) belief of Tawheed and ruling in accordance with the Sharee'ah (of Allaah) and (firm) adherence to Islaam in all our affairs from (our) dealings and (good) manners and ruling by the Book of Allaah and commanding the good and forbidding the evil, and calling to (the Path of) Allaah upon (sound) knowledge, insight and sincerity.
Allaah (Ta'aala) says:
{And hold fast, all of you together, to the Rope of Allaah (i.e. this Qur.aan), and be not divided among yourselves}, [Soorah Aal-'Imraan, Aayah 103] and He (Ta'aala) says:
{and do not dispute (with one another) lest you lose courage and your strength departs, and be patient. Surely, Allaah is with those who are as-Saabiroon (the patient)}, [Soorah Al-Anfaal, Aayah 46]
So it is not possible to unite whilst there are differences in 'aqeedah and in (our) aims and goals, until the 'aqeedah is correct and the goals are one (namely) for the victory of the Truth and the raising of the Word of Allaah (above all else); If only the preachers and advisors in their speeches and advice would concentrate on these issues (just) as they are (concentrating on) criticising the attacking enemy.
The evil aims of the enemy must be explained (exposed), and that the weakening of the Muslims and the grabbing of their wealth and possessions are not (the) only intended (aims), rather, on a major level it is intended to corrupt their 'aqeedah and (cause) their turning away from their religion until they have destroyed them to pieces.
And this is what I wished to warn about with regards to this catastrophe."

Orang Cerdas Tidak Melewatkan Kesempatan Emas Di Bulan Dzulhijjah!

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, LC
 
بسم الله الرحمن, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد

Para pembaca…semoga Anda selalu dalam keadaan sehat, penuh iman.
 
Termasuk tingkat kejeniusan yang sangat tinggi adalah mengenal kesempatan-kesempatan emas, waktu-waktu berharga, keadaan-keadaan penting yang disebutkan di dalam syariat Islam berdasarkan Al Quran dan hadits shahih, dan tidak membiarkan kesempatan, waktu dan keadaan tersebut terbuang percuma tanpa diisi dengan amal shalih.
 
Termasuk di dalamnya KESEMPATAN EMAS DI BULAN DZULHIJJAH!!!

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ .


Artinya: “Tiada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini”. yakni 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?”, beliau bersabda: “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 

“مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ”.


Artinya: “Tiada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan yang lebih ia cintai untuk beramal di dalamnya daripada 10 hari ini, maka perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya”. (HR. Ahmad dan di shahihkan oleh Al Mundziry dan Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dalam kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744)

Abu Qatadah Al Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata:
 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». رواه مسلم


Artinya: Bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa Hari Arafah: “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun lalu dan setahun yang akan datang”. (HR. Muslim)
Dari Hadits-hadits di atas dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, seperti; Menunaikan haji dan umrah, berpuasa, berkurban, bertakbir, bertahmid dan bertasbih serta bertahlil, serta amal shalih lainnya.

Kenapa dianggap cerdas orang yang menggunakan kesempatan emas ini?

1) Karena mungkin ini adalah ibadah terakhir dan ini pertanda baik dari Allah Ta’ala.
 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ ». فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ ».


Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka dia akan memakainya”, beliau ditanya: “Bagaimana Allah akan memakainya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalih sebelum meninggal”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab shahih Al Jami’, no. 304)

2) Karena mungkin kesempatan ini tidak akan kembali lagi.

3) Karena mungkin jika kesempatan ini kembali kita tidak dalam keadaan sehat dan mampu beramal shalih.
 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: ” اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلُكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “


Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menasehatinya: “Gunakanlah dengan baik lima perkara sebelum datang lima (yang lain): MASA MUDAMU SEBELUM DATANG MASA TUAMU, SEHATMU SEBELUM DATANG SAKITMU, KAYAMU SEBELUM DATANG FAKIRMU, WAKTU LUANGMU SEBELUM DATANG WAKTU SIBUKMU DAN HIDUPMU SEBELUM DATANG MATIMU”. (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dan di shahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 1077)
 

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .


Artinya: “Abdullah bin Umar senantiasa mengucapkan: “Jika kamu masuk waktu sore maka janganlah menunggu waktu pagi dan jika kamu masuk waktu pagi maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah kesehatanmu untuk sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Bukhari)
 
4) Karena sifat malas adalah sifatnya munafik.
 

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisa: 142)
 

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُون


Artinya: “Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan”. (QS. At Taubah:54)

Mari perhatikan perkataan yang sangat luar biasa ini …terutama bagi pemalas beribadah…
Berkata Syeikh Al Mufassir Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah:
 

والكسل لا يكون إلا من فقد الرغبة من قلوبهم، فلولا أن قلوبهم فارغة من الرغبة إلى الله وإلى ما عنده، عادمة للإيمان، لم يصدر منهم الكسل تفسير السعدي (ص: 210


Artinya: “Sikap malas tidak akan ada kecuali bagi siapa yang telah kehilangan keinginan (terhadap kebaikan) dari hati-hati mereka, maka kalau seandainya hati-hati mereka tidak terlepas dari keinginan kepada Allah dan (keinginan) kepada apa yang ada di sisi-Nya (yang disediakan-Nya berupa nikmat) dan hilangnya iman, maka tidak akan keluar dari mereka sikap malas”. (Lihat tafsir As Sa’diy, hal. 210)
 
Ahmad Zainuddin
Selasa 27 Dzulhijjah 1432H
Dammam, KSA

October 16, 2012

Semangat berpuasa 9 hari awal Dzulhijjah

Di antara keutamaan yang Allah berikan pada kita adalah Allah menjadikan awal Dzulhijjah sebagai waktu utama untuk beramal sholih terutama melakukan amalan puasa. Lebih-lebih lagi puasa yang utama adalah puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah.
Pada awal Dzulhijjah disunnahkan untuk berpuasa selain pada hari Nahr (Idul Adha). Karena hari tersebut adalah hari raya, maka kita diharamkan untuk berpuasa. Sedangkan tanggal 9 Dzulhijjah dan hari-hari sebelumnya (1-9 Dzulhijjah) disyari’atkan untuk berpuasa. Para salaf biasa melakukan puasa tersebut bahkan lebih semangat dari melakukan puasa enam hari di bulan Syawal. Tentang hal ini para ulama generasi awal tidaklah berselisih pendapat mengenai sunnahnya puasa 1-9 Dzulhijjah. Begitu pula yang nampak dari perkataan imam madzhab yang empat, mereka pun tidak berselisih akan sunnahnya puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah.  Adapun puasa enam hari di bulan Syawal terdapat perselisihan di antara para ulama. Seperti kita ketahui bahwa Imam Malik tidak mensunnahkan puasa enam hari tersebut.

Begitu pula tidak didapati dari para sahabat ridhwanallahu ta’ala di mana mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan puasa di awal Dzulhijjah, maka ditemukan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa mereka melakukannya. Seperti terbukti ‘Umar bin Al Khottob melakukannya, begitu pula ‘Abdullah bin Mawhab, banyak fuqoha juga melakukannya. Hal ini dikuatkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penekanan ibadah pada 10 hari awal Dzulhijjah tersebut daripada hari-hari lainnya. Hal ini sebagai dalil umum yang menunjukkan keutamaanya. Jika sepuluh hari pertama Dzulhijjah dikatakan hari yang utama, maka itu menunjukkan keutamaan beramal pada hari-hari tersebut. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ  وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[1]
Jika puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah dikatakan utama, maka itu menunjukkan bahwa puasa pada hari-hari tersebut lebih utama dari puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari setiap bulannya, bahkan lebih afdhol dari puasa yang diperbanyak oleh seseorang di bulan Muharram atau di bulan Sya’ban. Puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah bisa dikatakan utama karena makna tekstual yang dipahami dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
Yang menjadi dalil keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, ...[3]
Kata Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah bahwa di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.[4]
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.[6] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.
Awal Dzulhijjah tahun ini diperkirakan bertepatan dengan Rabu, 17 Oktober 2012. Sedangkan puasa Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada Kamis, 25 Oktober 2012. Semoga Allah memberikan kita kemudahan untuk melakukan amalan puasa tersebut.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

http://rumaysho.com


Sebab mendapatkan keampunan di hari Arafah

Hari Arofah adalah hari di mana Allah menyempurnakan Islam dan menyempurnakan nikmat-Nya ketika itu. Hari Arofah adalah hari haji Akbar menurut  mayoritas salaf. Hari Arofah juga adalah hari istimewa bagi umat ini.
Anas bin Malik pernah mengatakan, “Hari Arofah lebih utama dari 10.000 hari-hari lainnya.”[1] Siapa saja yang berpuasa ketika itu akan mendapatkan ampunan dosa (yaitu dosa kecil) untuk dua tahun.
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[2]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.”[3]
Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arofah, maka lakukanlah hal-hal berikut.[4]
Pertama: Melaksanakan puasa Arofah. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.[5]
Kedua: Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.
Ketiga: Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arofah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arofah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.”[6]
Keempat:Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.
Kelima:  Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arofah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.[7]
Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah:
Pertama: Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.[8]
Kedua: Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[9]
Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arofah.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.
Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arofah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.
Segala puji bagi Allah yang dengan setiap nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 489, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[2] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[3] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 482.
[4] Ini adalah penjelasan yang kami olah dari pemaparan Ibnu Rajab dengan sedikit penambahan dari kami.
[5] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[6] HR. Tirmidzi no. 3585, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Idem
[8] HR. Bukhari no. 5783, dari Ibnu ‘Umar.