SUARAKAN YANG HAQ UNTUK MENEGAKKAN YANG HAQ! KERANA YANG ADA HANYALAH YANG HAQ SEMATA ....

February 27, 2013

Jenis orang yang di Kecam oleh Nabi


Para pelawak termasuk jenis orang yang dikecam oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berkali-kali dinyatakan celakah baginya, celakalah baginya…

عن بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ (الترمذي وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

Dari Bahz bin Hakim, bahwa bapaknya telah bercerita kepadanya dari kakeknya, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara dengan satu pembicaraan agar menjadikan tertawanya kaum, maka ia berdusta, celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR At-Tirmidzi, hadits hasan).

Bagaimana pula jika seorang dai' atau penceramah yang suka berjenaka dan agama di buat bahan ketawanya. 
Alasan yang sering kita dengar ialah supaya para pendengar atau penonton tidak jemu dan 'boring' dan memungkinkan tertido. Jadi bila diberi garam jenaka, sebagai awet ceria. 
Dai' atau penceramah merupakan panutan bagi masharakat umum, dalam hal keagamaan. Mereka juga merupakan pemuka agama yang tentunya harus dapat diteladani oleh jemaahnya.Baik yang menyangkut tutur katanya atau akhlak.
Tetapi kadang kala penganjur juga tidak mengambil kira, ada isinya atau tidak, yang penting menuruti permintaan pengundang, dan pendengar merasa puas dengan lawak jenakanya. Janji laris. Ramai penonton . Pungutan tabung pun melambong. 
Sementara Da’i yang baik, yang lurus, yang tidak materialistik yang sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah malah jadi sasaran dan di cemuh dan di keji-keji di khalayak/di mimbar di majlis/ dipengajian, dihujat, di keronyok, bahkan ada yang beri label untuk menakutkan penonton dan di pertikaikan ilmunya. Seolah-olah yang memburuk burukkan ini yang benar dan lebih pandai walhal yang sebenarnya diputar belit fakta, di sembunyikan hadits yang benar untuk mengkelaburi mata orang awam.
Malahan ceramahnya banyak yang tidak bersesuaian dengan Al Qur’an dan Al Hadits atau berpedoman kepada Al Qur’an dan Al Hadits tetapi dalam penafsirannya sesuka hati sendiri. Sehingga jamaah melakukan ibadah yang sumbernya bukan dari pedoman yang shohih yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mereka berfatwa dengan tolak belakang hukum hukum shari'i kerana tiada siapa yang meninjaunya. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, apa akan terjadi pada masharakat?
Allahul Musta'an.

February 26, 2013

Ucapan yang paling merusak dan membawa bencana

"Perselisihan diantara umatku adalah rahmat."

Syeikh Zakaria al-Anshari dalam tafsir al-Baidhawi II/92 mengatakan hadits ini tidak ada sumber. Pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumber, namun tidak menemukannya. Sementara Ibnu Hazem pula mengatakan "ini bukan hadits." Ini ucapan yang paling merusak dan membawa bencana.
Sebab bila perselisihan dan pertentangan itu merupakan rahmat, tentulah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi kaum Muslim yang berfikir tenang dan teliti. Masalahnya hanya dua alternatif, yakni bersepakat atau berselisih, yang bererti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan) .

Menurut Sheikh al-Albani, kata kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antara mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya. Jangan katakan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanya pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah Nabawiyah yang shahih. Padahal itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang diikuti. Imam imam besar telah dengan tegas berpegang hanya dengan Kitabullah dan As-Sunnah, ijma dan qiyas. Mereka dengan tegas berkata; " Jika hadits ini shahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad dan pendapat ku bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah yang shahih, ikutilah Al-Quran dan assunnah serta campakkanlah ijtihad dan pendapat ku. Itulah mereka.

Ulama kita dewasa ini, kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengan nya, namun tak mereka lakukan.

Dengan demikian mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Dalam surah an-Nisa' ayat 82, Allah berfirman;

".....Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya."

Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan rahmat dari Allah ?

Kerana ucapan itulah banyak umat Islam setelah masa imam besar...khususnya dewasa ini... Terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Selanjutnya Sheikh al-Albani mengatakan kalau saja mereka mahu mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan di kecam Al-Quran dan Sunnah, pastikan mereka akan kembali kepersatuan dan kesatuan.

"Dan ta'at lah kepada Allah dan RasulNya dan  janganlah kamu berbantah bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...."  Al- Anfal:46

Barang kali muncul pertanyaan para sahabat juga berselisih pendapat padahal mereka adalah seutama  manusia. Ibnu Hazem menjawab, " tidak, sama skali tidak."  Mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud berselisih. Dan tidak pula meremehkan dalam mencari kebenaran.

Ada pun kecaman dan ancaman dalam AlQur'an ditujukan bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan Quran dan Sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil dalil yang nyatadi hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada si Fulan dan si Fulan, bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak pada fanatisme sempit ala jahiliah demi menyuburkan Firqah.  Mereka sengaja menolak alQur'an dan Sunnah Nabawiyah. Bila isi Quran dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannys, lalu mereka mengikutinya; tetapi bila tidak sesuai mereka kembali pada ashabiyah jahiliah.

Kerana itu waspadalah dan berhati hati terhadap semua itu bila Anda mengharapkan keselamatan dan kejayaan pada hari yang tiada guna hartanya dan keturunan kecuali orang orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih... (Lihat al-Ihkam fi Ushulil -Ahkam, V 67-68)

Hadits Palsu berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi .

"Barangsiapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti ia telah menjauhi ku."

Sheikh al- Albani mengatakan ini hadits maudhu, telah di tegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan III/237, al-Alhadits al-Maudhu'iyyah hal 46.
Dengan demikian, berarti pula ziarah adalah wajib seperti ibadah haji. Sekalipun, ziarah ke makam Rasulullah suatu amalan yang baik, hal itu tidak lebih dari amalan yang mustahab. Inilah pendapat jumhur ulama. Lalu bagaimana mungkin orang yang meninggalkannya dinyatakan sebagai orang yang menyimpang dan menjauhi Rasulullah shallallahu alaihiwassalam.
Hadits ;45


"Barangsiapa menunaikan ibadah haji kemudian menziarahi kubur-ku sepeninggalku, ia seperti menziarahiku ketika aku masih hidup."

Ini juga hadits maudhu. Sheikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa seluruh hadits yang berkenaan dengan ziarah ke makam Rasullah sangat lemah sehingga tidak dapat di jadikan hujjah. Kerana itu, tidak ada satu pun pakat hadits yang meriwayatkannya. Lebih jauh Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kebohongan hadits ini sangat jelas.

Peringatan;
Ramai orang menyangka bahwa Ibnu Taimiyyah dan umumnya kaum salafiyah melarang berziarah ke makam Rasul. Ini dusta dan merupakan tuduhan palsu. Orang yang menelurusi dan membaca karya atau kitab-kitab karangannya akan mengetahui dengan pasti bahwa ia sangat menganjurkan dan menyetujui ziarah kubur Rasullullah shallallahu alaihiwassalam, selama tidak di barengi dengan amalan amalan bid'ah.
Hadits; 46

Salinan dari Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu oleh Sheikh al-Albani

February 24, 2013

Bila Nasehat Di-Anggap Celaan


Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya pengertian nasehat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan, mencacati).
Pengertian Nasehat
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dengan menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah: “Nasehat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu, katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Agama (Islam) ini adalah nasehat (diulangi tiga kali oleh beliau).” Kami bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran Islam, Iman dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam (ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat), dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien (agama).1
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasehat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa mereka, menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka. (Al-Jami’ hal 101)
Dengan keinginan seperti ini, sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yang dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al Qur`an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan) Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an) sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang-orang yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.” (I’lamul Muwaqqi’in)
Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini (kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun walaupun demikian, yang ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang bertentangan (menyelisihi) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi, semua yang datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, Al-Qur’an yang mulia ini yang turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sama sekali tidak ada perselisihan di dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dalam risalahnya Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus dalam satu akad. Juga terhadap Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah yang menyatakan tidak ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lainnya yang memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepatnya perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan: “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik (penghuni) kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dalam kitabku bertentangan dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hal. 50, ed)
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita untuk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang sempat terucap maupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermadzhab dengan madzhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.
Yang lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan Al-Imam Sibawaih untuk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepadanya (Abu Hayyan): “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dalam 40 tempat yang tidak kamu pahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adalah suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniah (urusan agama) secara umum maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah atau dusta, sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya bertanya kepada (Al-Imam) Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah, tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits, atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”3 Maka Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”4
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka (apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin…”5
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ
Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR. Muslim)
Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itupun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ
Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.
Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang As-Sunnah atau aqidah, melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan adanya pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat, kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakekat Jarh wat Ta’dil).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang termasuk ajaran (agama) Islam.7
Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam, mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi) oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang yang menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putera) dalam kabilahnya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah9, terhadap orang yang dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang yang memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, ketika dia meminta nasehat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siapa dia sebaiknya menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya men­jarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau di sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus, sebagai nasehat buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan bahaya… 12
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yang datang kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran, pendustaan dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam Al Qur`an dan sama sekali tidak ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adalah agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang mereka runtuhkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umatnya dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa memperhatikan kebaikan yang ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini: 
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dari Al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah. Maka jauhilah mereka!” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para shahabatnya dengan orang-orang Khawarij.
Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka, amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari sasaran13.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14, seburuk-buruk bangkai yang terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawabnya jelas, karena mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sefaham dengan mereka, dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena parahnya kebodohan dan kesesatan mereka…”
Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi. Mereka berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut, namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini dalam firman-Nya:
Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebagaimana firman-Nya:
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau pemikiran yang menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam masalah fiqih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Kitab Al-Iman.
2 Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam, red.
3 Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
4 Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
5 Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
6 Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
7 Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
8 Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
9 Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
10 Syarh Shahih Muslim 16/144.
11 Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
12 Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
13 Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
14 Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
15 Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia dan isterinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh. Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
Diringkaskan dgn tidak merubah makna dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar, Judul: Ketika Nasehat Dianggap Celaan

February 21, 2013

Mutiara Hikmah


Jika takdir menginginkan seseorang , maka ia akan menanamkan ke dalam hatinya biji petunjuk, lalu menyiraminya dengan air kecintaan dan ketakutan, lalu ditegakkannya  dengan pagar pemeliharaan, diberikan kepadanya ilmu pengetahuan, maka tegaklah tanaman kerana bimbingan-Nya.

Tergelincirnya orang yang bodoh membawa kerusakan, sementara tergelincirnya orang pandai membawa kesengsaraan.

Jauhilah kemaksiatan kerana ia akan menghapuskan pahala sujudmu dan mengeluarkanmu dari ketentraman.

Orang yang paling rugi adalah seorang musafir yang sesat pada akhir perjalanannya, padahal dia sudah dekat dengan rumahnya.

Barangsiapa yang memberikan kebaikan niscaya Allah akan memberinya balasan kebaikan yang serupa dan Barangsiapa yang menjaga kejelekan niscaya Allah akan menjaganya.

Kebenaran itu berat dan pahit, sedangkan kebatilan itu ringan dan manis.

Carilah hatimu dalam tiga hal: ketika membaca Al-Quran , ketika dalam majlis dzikir dan pada waktu waktu berkhalwat. Jika kamu tidak menemukannya dalam ketiga tempat ini, maka minta lah kepada Allah agar memberimu hati kerana sesungguhnya kamu tidak memeliki hati!

Kutipan mutiara dari Al-Fawaid oleh Ibnu Qayyim ....

February 19, 2013

Hadits palsu mengenai Nabi Adam melihat nama Nabi Muhammad di Arasy

"Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata, 'Wahai Tuhanku, aku memohon ampunan-Mu demi Muhammad.'  Maka Allah berfirman, 'Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya?'.  Adam menjawab, 'Wahai Tuhanku. Tatkala Engkau menciptakanku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau meniupkan ruh padaku, maka aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat tiang Arasy bertulis: Tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, maka aku tahu Engkau tidak merangkaikan dengan namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.'  Allah berfirman, ' Engkau benar wahai Adam. Sesungguhnya dia (Muhammad) makhluk yang paling Aku cintai. Mohonlah demi dia, maka Aku mengampunimu. Dan kalau bukan kerana Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu."

Hadits no. 25 :  silsilah hadits dhaif dan maudhu'  oleh Shaikh al-Albani

Telah dinyatakan oleh Ibnu Hibbun bahwa dalam sanad hadits diatas terdapat nama Abdullah bin Muslim bin Rasyad. Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits sebab ia pernah terbukti memalsu hadits dari Laits, Malik dan Ibnu Luhay'ah.

Ringkasnya, hadits tersebut tidak bersumber pada hadits hadits marfu' dan shahih Rasullah shallallahu alaihiwassalam. Hadits ini juga divonis sebagai hadits batil oleh para pakar hadits seperti adz-Dzahabi dan al-Asqalani.
Wallahu a'alam

Hukum asal ibadah itu haram hingga ada dalil


Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil yang memerintahkan?
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,
الأصل في العبادات التحريم
Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).

Dalil Kaedah
Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan tercelanya perbuatan bid’ah. Bid’ah adalah amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, yang tidak ada pendukung dalil. Dan bid’ah yang tercela adalah dalam perkara agama, bukan dalam urusan dunia.
Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Al Ahzab: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.

Perkataan Ulama
Ulama Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari(5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”
Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.”
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal" (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Contoh Penerapan Kaedah
- Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka taqorrub pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi.
- Perayaan tahun baru Islam dan Maulid Nabi.
- Shalat tasbih karena didukung oleh hadits dho’if[1].
Demikian contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 91.
Tambahan Bid’ah dalam Ibadah
Kadang amalan tanpa tuntunan (alias: bid’ah) adalah hanya sekedar tambahan dari ibadah yang asli. Apakah tambahan ini membatalkan amalan yang asli?
Di sini ada dua rincian:
1- Jika tambahan tersebut bersambung (muttashilah) dengan ibadah yang asli, ketika ini, ibadah asli ikut rusak.
Contoh: Jika seseorang melakukan shalat Zhuhur lima raka’at (dengan sengaja), maka keseluruhan shalatnya batal. Dalam kondisi ini, tambahan raka’at tadi bersambung dengan raka’at yang asli (yaitu empat raka’at).
2- Jika tambahan tersembut terpisah (munfashilah). Maka ketika itu, ibadah asli tidak rusak (batal).
Contoh: Jika seseorang berwudhu’ dan mengusap anggota wudhunya (dengan sengaja) sebanyak empat kali-empat kali. Kali keempat di situ dihukumi bid’ah namun tidak merusak usapan tiga kali sebelumnya. Alasannya, karena usapan pertama sampai ketiga dituntunkan sedangkan keempat itu tambahan (tidak ada asalnya), sehingga dianggap terpisah.
Lihat keterangan akan hal ini dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 92 oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah.
Tidak Tepat!
Tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalil yang melarang untuk membuat ibadah tanpa tuntunan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).  Hadits ini sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah. Jika ada yang membuat suatu ibadah tanpa dalil, maka kita bisa larang dengan hadits ini dan itu sudah cukup tanpa mesti menunggu dalil khusus. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu jaami’ul kalim, maksudnya adalah singkat namun syarat makna. Jadi dengan kalimat pendek saja sudah bisa menolak berbagai amalan tanpa tuntunan, tanpa mesti dirinci satu per satu.
Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits di atas, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
Sehingga bagi yang melakukan amalan tanpa tuntunan, malah kita tanya, “Mana dalil yang memerintahkan untuk melakukan ibadah tersebut?” Jangan dibalik tanya, “Mana dalil yang mengharamkan?” Jika ia bertanya seperti pertanyaan kedua, ini jelas tidak paham kaedah yang digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, juga tidak paham perkataan ulama.
Kaedah yang kita kaji saat ini menunjukkan bagaimana Islam betul-betul menjaga syari’at, tidak dirusak oleh kejahilan dan kebid’ahan.
Hanya Allah yang memberikan petunjuk ke jalan penuh hidayah.
---
Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

@ Manna 27, KSU, Riyadh-KSA, 15 Rabi’ul Awwal 1434 H (selepas shalat Fajar)
www.rumaysho.com

February 15, 2013

Mengenal ciri ciri golongan yang Selamat

1. Golongan yang selamat jumlahnya sangat sedikit di tengah banyaknya umat manusia.

Tentang keadaan mereka, Rasulullah shallallahu alaihiwassalam bersabda;

"Keuntungan besarlah bagi orang-orang yang asing, iaitu orang-orang shalih di lingkungan orang banyak yang berperangai buruk, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka."   (HR. Ahmad, hadits shahih).

Allah memuji mereka dengan FirmanNya;
"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur." QS Saba': 13

2. Golongan yang selamat banyak dimusuhi oleh manusia, difitnah dan dilecehkan dengan gelaran dan sebutan yang buruk. Nasib mereka seperti nasib para Nabi yang dijelaskan dalam Firman Allah;

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, iaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)."  QS Al-An'am: 112

Rasulullah shallallahu alaihiwassalam misalnya, ketika mengajak kepada tauhid, oleh kaumnya beliau dijuluki sebagai " tukang sihir lagi pendusta".

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang golongan yang selamat, beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang salaf dan setiap orang yang mengikuti jalan para as-Salaf ash-Shalih (Rasulullah, para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jalan petunjuk mereka)."

Semoga kita termasuk mereka yang berakidah al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) ini, Amin.
Salinan dari buku jalan golongan yang selamat oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. 

Berdiri yang di Larang

Rasulullah shallallahu alaihiwassalam bersabda,

"Barangsiapa suka dihormati manusia dengan berdiri untuknya, maka hendaknya ia mendiami tempat duduknya di Neraka."  (HR. Ahmad, hadits shahih)

Ana's bin Malik berkata,

"Tak seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah shallallahu alaihiwassalam . Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah shallallahu alaihiwassalam  (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut."   (HR. Tirmidzi, hadits shahih).

Hadits ini mengandung pengertian, bahwa seorang Muslim yang suka dihormati dengan berdiri, ketika ia masuk suatu majlis, maka ia menghadapi ancaman masuk Neraka.

Para sahabat yang sangat besar cintanya kepada Rasulullah shallallahu alaihiwassalam tidak berdiri bila beliau masuk kedalam suatu majlis. Kerana mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai yang demikian.

Dizaman ini kita lihat banyak orang terbiasa berdiri untuk menghormati sebagian mereka. Mereka berdiri bila penguasa atau pembesar negara masuk kesuatu majlis atau pertemuan. Sering kita jumpa dalam satu majlis jika orang kaya masuk, semua berdiri untuk memberi penghormatan. Kanak kanak berdiri untuk menghormati guru yang masuk ke ruang kelas untuk memberikan pelajaran. Mereka berdiri pabila bendera bendera sekolah atau negara di naikkan.

Diamnya orang yang mendapat penghormatan itu menunjukkan mereka senang di hormati. Membiasakan berdiri untuk menghormati orang alim atau orang yang masuk suatu majlis, akan melahirkan dihati keduanya kesenangan untuk dihormati dengan cara berdiri. Sehingga sesiapa yang tidak berdiri di anggap biadab.

Banyak orang mengatakan mereka berdiri kepada guru atau sheikh hanya sekadar menghormati ilmunya. Kita bertanya, apakah kamu meragukan ilmu Rasulullah shallallahu alaihiwassalam dan adab para sahabat kepada beliau, meskipun demikian mereka tetap tidak berdiri untuk Rasulullah?

Terkadang kita mendengar dari sebagian masyayikh (para guru) menerangkan bahwa ruh Nabi datang dalam sesuatu malis Maulid dan menyuruh para hadirin berdiri menghormati beliau. Ini adalah tidak benar. Kecintaan terletak dalam hati dan penghormatan kepada beliau dengan mentaati, mengikuti, mencontohi sunnah beliau. Tiada dalil shahih yang mengatakan ruh Nabi shallallahu alaihiwassalam datang kemajlis bid'ah.

Islam tidak mengajarkan penghormatan dengan cara berdiri. Tetapi dengan keta'atan dan mematuhi perintah, menyampaikan salam dan saling berjabat tangan. (Antara sama jenis)
Wallahu a'alam.

Disalin dengan sedikit ringkasan dari buku Jalan Golongan Yang Selamat oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Naidu.

February 12, 2013

Ketika manusia menentang al-Quran dan as-Sunnah!

Ketika manusia menentang kandungan al-Quran dan sunnah serta tidak mahu mengambil hukum dari keduanya dan berkeyakinan bahwa keduanya sudah tidak cukup atau relevan lagi untuk memecahkan masa'alah, sehingga mereka beralih kepada pendapat-pendapat lain, analogi, istihsan dan pendapat para ulama, berarti lunturlah kesucian hati mereka, keruhlah pemahaman, dan rusaklah pemikiran mereka.

Mereka termakan oleh sesuatu yang kecil dan memuntahkan sesuatu yang besar, sementara mereka tidak tahu kalau itu kemungkaran. Lalu datanglah kekuasaan lain yang mendukung bid'ah menggantikan sunnah, hawa nafsu menggantikan kebaikan akal, kesesatan menggantikan petunjuk, kemungkaran menggantikan kebaikan, kebodohan menggantikan pengetahuan, riya menggantikan keikhlasan, kebatilan menggantikan yang haq, kebohongan menggantikan kejujuran, bujuk rayu menggantikan nasehat dan kedzaliman menggantikan keadilan.

Penguasa itu berjalan di atas semua perkara di atas, padahal sebelumnya mereka sangat baik.

Jika kamu melihat suatu penguasa telah menerima kesesatan ini, mereka telah mengibarkan benderanya, dan tenteranya telah dipersiapkan, maka demi Allah, perut bumi lebih baik dari permukaannya, pergunungan lebih baik daripada sungai-sungai dan berbaur dengan kesunyian lebih baik daripada berbaur dengan manusia. ***********

Seorang ahli ilmu yang mencintai dunia pasti akan mengatakan ketidakbenaran tentang Allah dalam semua fatwa, hukum-hukum, dan berita-berita-Nya; kerana hukum-hukum Allah kebanyakkan bertentangan dengan keinginan manusia apalagi para penguasa. Orang orang yang mengikuti nafsu syahwat, tidak akan sempurna tujuan mereka kecuali dengan mengingkari kebenaran dan memusuhinya.

Jika seorang ahli ilmu dan orang yang bijak telah mencintai kepemimpinan dan mengikuti nafsu syahwat, maka tidak ada jalan bagi keduanya kecuali akan menentang kebenaran. Jika terjadi pertentangan antara shubahat dan hawa nafsu pasti akan mendahulukan hawa nafsu lalu menyembunyikan kebenaran.

Oleh Ibnu Qayyim dari Al-Fawaid, penerbit Dar Al-Kitab Al-Araby, Beirut , 1414H

Ketika wanita menganggap rumah adalah penjara


Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiinrahimahullah pernah ditanya :
هل من كلمة للنساء اللاتي يعتبرن بأن المنزل سجن؟
 “Apakah ada nasihat (yang dapat engkau sampaikan) bagi wanita yang menganggap rumah adalah penjara (bagi mereka) ?”.

Beliau rahimahullah menjawab : “Ya, ada nasihat yang hendak aku katakan kepada para wanita yang menganggap rumah sebagai ‘penjara’, seandainya ungkapan tersebut benar dari Allah ‘azza wa jalla. Allahta’ala berfirman : ‘dan hendaklah kamu tetap di rumahmu’ (QS. Al-Ahzaab : 33). Dan dalam hadits yang berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam tentang wanita : ‘rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka’. Seorang wanita yang tinggal di rumahnya tidaklah dalam keadaan terikat. Ia bisa pergi kemanapun dari rumahnya, mengurus segala kebutuhan rumah, dan mengurus dirinya sendiri. Lantas, dimanakah sebenarnya letak tahanan dan penjara (sebagaimana yang dimaksudkan)?

Benar, rumah adalah penjara bagi wanita yang menginginkan kebebasan seperti kaum laki-laki. Termasuk hal yang telah diketahui bahwa Allah ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan kekhususan masing-masing, serta membedakan penciptaan, tabiat, akal, agama antara keduanya menurut apa yang telah ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan kami katakan : Sesungguhnya wanita yang mengatakan bahwa tinggalnya seorang wanita di rumahnya adalah penjara (bagi mereka), maka ini bertentangan dengan firman Allahta’ala : ‘‘dan hendaklah kamu tetap di rumahmu’ (QS. Al-Ahzaab : 33).

Bagaimana kita menganggap apa yang diperintahkan Allah sebagai penjara ?.
Akan tetapi hal itu adalah seperti yang aku katakan : penjara bagi orang yang menginginkan keindahan dan pergaulan/campur baur dengan laki-laki. Pada hakekatnya, tinggal di rumah adalah satu kegembiraan, rasa malu, kehormatan, dan jauh dari fitnah. Selain itu juga jauh dari perbuatan menampakkan wanita di hadapan laki-laki (yang bukan mahram), karena seorang wanita apabila keluar rumah dan melihat laki-laki, ia akan berkata : ‘Ini adalah laki-laki tampan, ini adalah pemuda cakep, orang yang memakai pakaian itu ganteng, dan yang lainnya. Wanita tersebut terfitnah dengan laki-laki sebagaimana laki-laki juga terfitnah dengan wanita.
Oleh karena itu, para wanita mestilah bertaqwa kepada Allah dan kembali pada apa yang difirmankan oleh Rabb dan Khaaliq mereka, serta (kembali) pada apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan kepada selain mereka (dari kalangan laki-laki). Dan hendaknya mereka mengetahui bahwa kelak mereka akan berjumpa dengan Allah ‘azza wa jalla dan Allah dan ditanya : ‘Apa yang kalian sambut dari seruan para Rasul ?’.

Mereka tidak mengetahui bila mereka akan meninggal menjumpai Allah ‘azza wa jalla. Mungkin di pagi hari ia masih ada di rumahnya, namun di petang hari sudah tergolek di liang kuburnya; atau di petang hari ia masih ada di rumahnya, namun di pagi hari sudah tergolek di liang kuburnya. Hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan propaganda Barat yang merusak ! Karena ketika para penyeru dari kalangan Barat itu makan daging busuk, mereka meninggalkan sisa urat dan tulangnya untuk kita makan setelah intisarinya mereka habiskan.
 
Orang-orang Barat berharap dan ingin mengembalikan wanita mereka seperti wanita muslimah yang tinggal di rumah mereka, mempunyai rasa malu, dan jauh dari tempat-tempat fitnah. Akan tetapi, itu tidak akan terjadi pada mereka. Maka, apakah pantas bagi kita sebagai muslim yang mempunyai agama (yang benar), perilaku, adab, dan akhlaq yang terpuji; untuk menjulurkan lidah di belakang mereka sebagai pengekor dalam kerusakan ?. Maha Suci Allah Yang Maha Agung, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah.....
 
[sumber : transrip siaran radio Nuur ‘alad-Darb :http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=128088].

February 10, 2013

Pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang mulia iaitu..


Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik ra, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihiwassalam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama.

Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk Surga oleh Rasulullah shallallahu alaihiwassalam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Ansar yang telah teruji keimanannya dan keistiqamahannya. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhan atas kebenaran menghasilkan kepermegian suaminya dari sisinya.

 Namun dia teguh dan tabah bersendirian dengan putranya mempertahankan keimanannya berbuah kesabaran sehingga menjadi buah mulut orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.
 
Tahukah Anda kesabaran dan ketabahannya telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah ra. yang saat itu maseh kafir. Walaupun begitu, Abu Thalhah memberanikan diri melamar Ummu Sulaim dengan tawaran mahar yang tinggi. Tetapi dia tidak terpesona dengan gemerlapan dunia.

Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih beliau berkata: " Demi Allah, orang seperti kamu tidak layak untuk di tolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang Muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islamlah maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu." 
(HR. Nasa'i VI/114, al-Ishabah VIII/243 dan al-Hilyah II/59 & 60).

Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, iaitu Islam.

Sehingga Rasulullah shallallahu alaihiwassalam bersabda ;

"Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim kerana maharnya adalah Islam. " (Sunan Nasa'i VI/114)

Demikian lah kisahnya, semoga kisah ini menjadi sesuatu yang bererti dalam kehidupan kita dalam menjaga keutuhan aqidah serta lebih konsisten dengan keislaman kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar.

Dipetik dari ; kisah teladan penggugah keteguhan aqidah ;
lembaga buku kecil islami (LBKI), PO Box 01 Ciomas Bogor ;

Cinta dan Islam bukan Valentine







Sangat baik jika masjid setempat dapat menganjurkan ceramah bertema " Cinta dalam Islam" dengan rangkaian kisah kecintaan dan pengorbanan generasi dahulu, kisah wanita wanita soleha sebagai teladan. Dan lebih bermanfaat jika dapat di infakkan sebuah buku kecil (poket size) sebagai ' door gifts' daripada memberi setangkai mawar sebagai lambang perayaan Valentine's Day. Bunga akan layu dan mati, tetapi buku itu sebagai teman sejati.
Mengungkap perkataan cinta, tidak di larang dalam Islam asalkan di salurkan dalam jalan yang halal. Islam adalah agama yang menjunjung cinta pada tingkat tertinggi. Bahkan cinta menjadi dasar keimanan seorang Muslim, sebab belum sempurna keimanan seseorang jika keluarga dan hartanya lebih di cintai daripada Allah dan juga daripada Nabi shallallahu alaihiwassalam. 
Sabda Nabi, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencitai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”  (HR. Bukhari-Muslim). Begitu pula ketika seseorang datang kepada Nabi Muhammad melaporkan bahwa ia mencintai  saudaranya tapi belum mengungkapkannya. Maka Nabi-pun menyuruhnya agar mengatakan kepada saudaranya itu bahwa ia mencitainya. Islam juga menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah agar rasa cinta bertumbuh dan berkembang di dalam hati, tanpa batasan masa.
Ketika tiba di Madinah, dalam peristiwa hijrah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, terlebih dahulu mempersaudarakan orang-orang muhajirin dari Mekah dan orang-orang Ansar yang merupakan penduduk asli Madinah. Begitu kuatnya cinta di antara mereka hingga Sa’ad bin Rabi’ dari kalangan Ansar berkata kepada saudaranya dari kalangan Muhajirin, Abdurrahman bin ‘Auf, “Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka pilihlah yang engkau mau, agar aku dapat menceraikannya. Jika masa iddahnya telah habis, maka kawinilah ia!”
 Terasa takjub, terharu, heran bila kita mendengar ucapan Sa’ad. Boleh dikatakan, hari dipersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar inilah hari kasih sayang yang sesungguhnya. Cinta Sa’ad yang sangat besar pada saudaranya hingga menawarkan salah seorang dari istrinya. Hal yang sangat sulit dilakukan oleh siapapun. Tapi, itulah cinta dan kasih sayang yang sangat besar pada saudaranya karena Allah. Demikian Islam mengajarkan cinta dan kasih sayang.
Islam sangat memahami cinta. Karena itu Islam menganjurkan pernikahan. Bahkan hingga ketahap wajib bagi yang sudah mampu. Itu adalah fitrah dan Islam tidaklah bertentangan dengan fitrah manusia. Ia bukanlah ajaran yang mengharamkan cinta dalam bingkai pernikahan seperti kependetaan dalam kekristenan. [abangdani.wordpress]
Yang di larang ialah ketika 14Februari, rasa cinta di lafaskan seolah-olah merayakan, mengagungkan cinta yang sudah ada di hati selama ini, dengan ungkapan  "happy valentine’s day” dengan memberi hadiah dari setangkai mawar hingga ke hotel yang mewah. Sangat parah bila momentum ini di rai'kan oleh sepasang kekasih yang belum bernikah. 
Lagipun Valentine tidak ada sejarah yang tertentu. Baru baru ini ada Gereja yang menolak perayaan ini. Sebuah situs media Kristen telah menulis "Gereja Ortodox Rusia Restui Larangan Perayaan Valentine (2011). Reuters juga menulis, Gereja Ortodox Rusia melarang perayaan Valentine. Pemerintah Rusia propinsi Belgorod menyerukan agar institusi pendidikan dan institusi pemerintahan untuk tidak melakukan perayaan hari kasih sayang (Valentine)
Republika Online menulis, “Gereja: Valentine salah arah.”  Gereja Katolik Roma Inggris menasihati orang lajang mengidamkan hubungan asmara agar mengarahkan doa permintaan asmara pada 14 Feb kepada St Raphel, bukannya St. Valentine. [voa-Islam.com]
Menurut Gereja Katholik Inggris, bertahun-tahun, St Valentine telah keliru diasosiasikan dengan upaya mendapatkan cinta. Bukan St.Valentine tapi seharusnya St.Raphael. Riwayat St.Valentine dinilai tidak jelas. Bahkan, para arkeologis telah meneliti sebuah gereja kuno yang dipersembahkan untuk seseorang dengan nama tersebut, namun riwayat St.Valentine tidak ditemukan. Yang beredar hanya kisah-kisah mitos belaka. Kelihaian Misionaris, Valentine Day kemudian dimasyarakatkan secara Internasional hingga saat ini. [voa-Islam.com]
Islam sebagai satu agama yang sudah sempurna, sangat tidak menginginkan umatnya meniru budaya buruk yang lahir dari luar Islam. Apalagi budaya ini sudah dipertikaikan oleh pendeta Kristen sendiri.
Seharusnya Islam lah yang memberi contoh dan menjadi teladan bagi budaya lain. 
Ketika kiblat umat Islam masih menghadap ke Baitul Maqdis yang juga merupakan kiblat umat Yahudi, Nabi Muhammad selalu berdo’a kepada Allah agar umat Islam memiliki kiblat sendiri. Allah lalu mengabulkannya dan memindahkan kiblat ke Masjidil Haram di Mekah. Juga pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, Rasulullah memerintahkan umat Islam berpuasa pada tanggal 9 atau 11 Muharram, hal itu dilakukan tidak lain agar umat Islam berbeda dengan umat Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram sebagai rasa syukur diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. 
Demikian pula ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat orang-orang Madinah bermain dan bersuka ria pada dua hari yang dahulu di masa jahiliyah mereka juga bersuka cita di dua hari itu. Melihat hal tersebut, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (HR. Abu Dawud)
Sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas adalah berlawanan terhadap tradisi dan budaya orang-orang di luar Islam. Ia menginginkan umat Islam memiliki identiti dan budaya sendiri, tidak latah dan mengekor pada umat lain yang memiliki nilai yang berantakan dengan nilai Islam.


Cukuplah Islam sebagai identiti dan budaya kita!

   

February 9, 2013

Tanda Fitnah telah Masuk ke Hati!



Oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam L.C

Tanda Fitnah telah Masuk ke Hati

Hudzaifa radliyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya fitnah itu akan ditampakkan ke hati..

Hati mana saja yang menerimanya akan diberi titik hitam padanya..
Dan hati mana saja yang mengingkarinya akan diberikan titik putih..

Siapa yang ingin mengetahui apakah fitnah itu telah masuk ke hatinya atau tidak, maka lihatlah:

Jika ia memandang haram yang seharusnya dipandang halal..
Atau memandang halal yang seharusnya dipandang haram..
Berarti fitnah telah menerpanya..

(HR Ibnu Abi Syaibah dalam al mushannaf 15/88 dengan sanad shahih)


Sumber: Salam Dakwah.com

February 6, 2013

Amal yang Paling Disukai Allah Subhanahuwataala

Tsauban bertanya kepada Rasulullah tentang amalan apa yang paling disukai Allah Subhanahuwataala ;

Nabi shallallahu alaihiwassalam menjawab: " Hendaklah kamu memperbanyak sujud kepada Allah. Kerana, engkau tidak sujud kepada Allah, kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatmu dan akan menghapuskan dosa-dosamu."     ( HR Muslim)

Didalam riwayat Ahmad pula, beliau pernah ditanya tentang amalan yang paling dicintai Allah Ta'ala.

Beliau bersabda: "Mencintai (sesuatu) kerana Allah dan membenci (sesuatu) kerana Allah."

Dari Fatwa Rasulullah oleh Ibnu Qayyim al- Jauziyah.

Rahsia rahsia Al-Fatihah

Oleh Ibnu Qayyim

Ketika seseorang dalam shalatnya membaca, yang ertinya;

Segala puji bagi Allah semesta alam, ia berhenti sejenak untuk menunggu jawapan dari Tuhannya yang berkata:
HambaKu telah memujiKu

Dan ketika ia membaca yang ertinya; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ia menunggu jawapan Tuhannya yang berkata:
HambaKu menyanjungKu,

Dan ketika ia membaca yang ertinya; Yang menguasai hari pembalasan, ia menunggu jawapannya yang berkata:
HambaKu selalu memuliakan Aku.

Alangkah sejuk dan senangnya hati manusia kerana Tuhannya menyebutnya dengan kalimat 'hambaKu' sebanyak tiga kali, jika hati manusia tidak tertutup kabut nafsu, pasti saat itu dirinya telah diselimuti dengan kebahgiaan kerana Tuhannya, Penciptanya dan sembahannya telah mengatakan dengan kata kata;

'HambaKu telah memujiKu, hambaKu menyanjungKu dan hambaKu selalu memuliakan Aku,' lalu hatinya jadi tempat bersaksi tiga nama Tuhan ini, yang mana ketiga nama Tuhan ini adalah induk dari nama nama Allah yang baik (asmaul husna). Ketiga nama itu adalah " Allah, Arrabbu dan Arrahman."

Maka barang siapa yang menyebut nama Allah Yang Maha  Agung ini bererti ia telah bersaksi akan adanya Allah sebagai sembahannya yang satu yang berhak di sembah dan tidak ada yang di sembah selain Dia.

Segala sesuatu di alam raya ini tunduk padanya dan semua suara suara khusu' memuji dan mensucikannya.

"Dan kepunyaan Nyalah siapa saja yang ada di langit dan dibumi, semuanya hanya kepadaNya tunduk..."  Ar Ruum: 26.

Lalu ketika ia membaca, yang ertinya: hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami minta pertolongan, ayat ini terdapat rahsia dari penciptaan makhluk, syariat dunia dan akhirat, dimana dalam ayat ini terkandung tujuan yang paling mulia dan utama dari semua penciptaan itu adalah beribadah kepada Allah, dan sarana terbaik untuk menuju pada ibadah adalah dengan memohon pertolongan dari Allah.
Hanya Dia yang memberi dan tidak ada yang menolong hambaNya kecuali Dia dan tidak ada yang memberi petunjuk kecuali Dia.

Kemudian bersaksi serta membangun dengan ucapan yang ertinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. Masa'alah ini adalah masa'alah yang paling penting dan lebih di perlukan manusia. Petunjuk ini tidak akan terpenuhi kecuali jika manusia berjalan pada jalan yang menghubungkan pada Tuhannya iaitu jalan yang lurus, petunjuk yang terperinci yang dissertai kesanggupan manusia untuk mengerjakan tugas dari Allah sesuai dengan ketentuan yang di redha'i Allah seraya memohon kepada Allah terhindar dari segala kesalahan sebelum, ketika dan sesudah melakukan tugas.

Begitupula ia membutuhkan petunjuk dalam masa'alah aqidah agar ia bersikap konsisten. Kemudian dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa ciri orang yang mendapat petunjuk adalah mereka yang mendapatkan kenikmatan dari Allah dan bukan golongan yang mengetahui kebenaran tidak mau mengikuti kebenaran itu. Dan bukan pula golongan yang sesat iaitu mereka yang menyembah Allah tanpa pengetahuan hingga menyimpang dari ajaran Islam. Jalan yang ditempuh oleh orang yang mendapat petunjuk amat berbeda, bahkan bertentangan secara teori dan praktik dengan jalan kedua golongan sesat ini

Setelah selesai dari pemujaan, doa dan pengesaan kepada Allah, di syariatkan bagi pelaku shalat untuk memohon jaminan dari Allah agar dikabulkan semua permintaan dengan menutupi dengan membaca Amin. Ini hiasan penutupan setelah membaca Fatihah...amin.....

Dikutip dari kitab Rahsia Dibalik Shalat oleh Ibnu Qayyim ..